Urgensi Filsafat Abad 21: Menerka dan Menolak Budaya-budaya Maya

Oleh: Ahmad Miftahuddin Thohari

Kalau dalam sains (ilmu pengetahuan), sebagaimana mengutip Stephen Hawking, mengatakan bahwa “musuh terbesar pengetahuan bukanlah kebodohan, tetapi ilusi pengetahuan.” Saya sangat setuju dengan ini apabila makna dari kata “kebodohan” dikonotasikan sebagai bagian dari proses pencarian akan pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, “kebodohan” di sini berarti berposisi sebagai ruang kesadaran manusia yang merasa dirinya tidak tahu untuk kemudian mendorong manusia melakukan pencarian atas pengetahuan. “Kebodohan” dalam maksud ini adalah curiosity (rasa ingin tahu) dalam kodrat diri manusia yang selanjutnya bertransformasi menjadi pengetahuan.

Sesungguhnya itu pulalah yang terjadi di dalam disiplin gerak perjalanan filsafat. Pada mulanya, kelahiran filsafat bukanlah pemberontak kebodohan manusia di zaman itu. Zaman Yunani Kuno. Akan tetapi, lebih kepada pemikiran ilusif yang begitu mendominasi ruang kehidupan manusia. Adalah mitos-mitos zaman yang kala itu digugat oleh, misalnya, Thales, dkk.

Hari ini kita memang tidak bisa menolak mitos, umpamanya dalam arti sebagai bagian diskursus metafisis yang mustahil dijangkau akal pikiran manusia. Namun, mitos, dalam arti sebagai hantu-hantu pemikiran yang bersifat maya, adalah satu kenyataan entitas yang harus kita jauhkan sedemikian rupa dari ruang kesadaran kita. Sesuatu yang bersifat ilusif atau maya, adalah sesuatu yang harus kita jauhi. Sebab, sebagian besar dari kenyataan yang bersifat ilusif atau maya, adalah kenyataan yang menipu.

Antara filsafat dan sains (ilmu pengetahuan) sesungguhnya hadir dalam ruang tema yang sama. Keduanya hadir untuk sama-sama menjadi lawan dari tendensi-tendensi yang bersifat maya atau ilusif. Dengan demikian, saya tidak setuju apabila dibilang: “filsafat sudah mati, sejak munculnya sains (ilmu pengetahuan)”, seperti yang dikatakan pula oleh Hawking. Menggunakan argumentasi milik Derrida, bahwa disiplin diskursus filsafat dan sains (ilmu pengetahuan) pada dasarnya kedua-duanya berakar dalam rasionalitas yang sama. Bukankah sains (ilmu pengetahuan) sesungguhnya muncul juga karena adanya filsafat?

Bahkan, dalam banyak hal, sains (ilmu pengetahuan) seperti kurang cakap dan kurang komprehensif ketika harus menanggapi realitas zaman. Spesifikasi sains (ilmu pengetahuan) yang nuansa pemikirannya cenderung bersifat spesialis, terlihat tidak mampu memberikan perspektif yang utuh-holistik untuk bisa mengkritisi fenomena zaman. Meskipun dalam ruang-ruang tertentu, sains (ilmu pengetahuan) memberikan analisis detail. Akan tetapi, tentu, agar mampu bergerak secara lincah dan bisa masuk dari sana-sini dengan banyak analisa, kemampuan untuk bisa berpikir generalis (baca: menjadi generalis) lebih penting untuk dimiliki ketimbang hanya mampu berpikir spesialis. Dalam bukunya “Range”, David Epstein, juga menggugat masalah kompetensi spesialis.

Perlu digarisbawahi, di sini saya tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan sains (ilmu pengetahuan). Saya hanya bermaksud memberikan counter argumentasi yang mengatakan bahwa filsafat hari ini sudah mati karena lahirnya sains (ilmu pengetahuan). Antara filsafat dan sains (ilmu pengetahuan) bukanlah dikotomi yang harus dipertentangkan.

Justru pada realitas kontemporer sekarang ini, di abad 21, menjadi keharusan filsafat kembali hadir untuk menanggapi realitas-realitas yang ada. Terutama sekali tentang realitas ilusif atau maya yang begitu merebak di abad dewasa ini, sebagai kondisi zaman yang harus filsafat gugat. Di zaman Yunani Kuno, problem mitos dewa-dewa adalah realitas maya yang coba digugat dan diatasi oleh filsafat Yunani Kuno dengan tokoh-tokohnya. Juga di zaman Klasik, Abad Pertengahan, Modern, yang selalu muncul realitas-realitas maya untuk kemudian digugat dan diatasi. Di abad kontemporer ini, filsafat hadir dengan semangat yang juga sama untuk menggugat hal yang sama pula.

Kita ambil satu realitas maya di hari ini adalah, misalnya, tentang industri budaya, konstruksi perkembangan teknologi, fetisisme komoditas, dan masalah kebutuhan semu (palsu) yang segala bentuk dan modelnya telah dikapitalisasi dengan trend atau gaya baru. Industri budaya yang sedemikian banyaknya melahirkan produksi-produksi budaya yang kemudian menjadi trigger dalam parameter lifestyle. Perkembangan teknologi yang menuntut penggunanya untuk senantiasa membudak pada realitas media sosial. Fetisisme komoditas yang juga berkaitan penuh dengan massifikasi media sosial, karena media sosial saat ini telah menjadi sarana promosi paling efektif. Adanya fenomena influencer begitu hebatnya menjadi pemikat canggih antara brand dengan konsumen. Sementara itu, fetisisme ini semakin menjadi-jadi lantaran didukung pula dengan model masyarakat yang masih terlalu menjadikan sosok-sosok atau publik figur sebagai idola untuk dijadikan background acuan hidup, terutama dalam masalah lifestyle (gaya hidup).

Realitas semacam itulah yang saat ini menghegemoni kehidupan manusia abad 21. Kebudayaan atau budaya hidup kita hari ini, diakui atau tidak, bisa diartikan sebagai produk industri budaya. Di mana produk dari industri budaya tersebut telah menjadi acuan kita memparameterkan hidup. Kehidupan kita telah dikontrol oleh produk-produk industri budaya. Di saat bersamaan produk-produk industri tersebut lantas menjadi standarisasi gaya hidup. Potret dari realitas lifestyle is opium of the masses, tersusun begitu rapi dalam kotak-kotak budaya pop, juga menjamurnya kontrol-kontrol kehidupan melalui kafe, fesyen, film maupun pola hidup lainnya. Seakan-seakan hal-hal demikian itu mampu memberikan limpahan eksistensi tersendiri bagi para penikmatnya. Padahal, sesungguhnya keadaan demikian adalah realitas maya (baca: palsu, semu) yang sangat impulsif.

Melihat realitas demikian, seperti diistilahkan Budi Hardiman, bahwa: konspirasi kapitalisme melalui budaya populer (baca: budaya maya) adalah kondisi di mana manusia dipaksa untuk berpartisipasi secara aktif supaya larut dalam budaya massa. Juga dalam kajian kebudayaan, Theodor W. Adorno merumuskan perihal Commodity Society, yang mengatakan bahwa kebudayaan sesungguhnya sengaja dibuat demi membawa massa (masyarakat) masuk ke dalam ruang hegemoni praktik-praktik sosial yang skemanya sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar dengan segala bentuk produk-produk industri budayanya. Ini pulalah yang oleh Jean Baudrillard pada Simulacra and Simulation sebagai upaya instrumentalisasi cara berpikir untuk mempertahankan status quo dan kekuasaan yang sedang memegang kontrol, lebih-lebih untuk menguntungkan industri kapitalisme pemilik modal.

Realitas-realitas maya demikianlah yang perlu untuk diatasi oleh kecenderungan filsafat di abad kontemporer guna membangunkan kesadaran manusia yang telah lama dininabobokan oleh hegemoni zaman tersebut. Setidaknya dengan cara yang ditawarkan oleh Karl Popper, kita harus menerka realitas-realitas maya serba ilusif tersebut yang sesungguhnya sangat menipu, untuk kemudian menolaknya. Sehingga kita dapat merumuskan kembali cara hidup baru yang lebih sehat.

Juga, termasuk dalam budaya Post-Truth dengan segala informasi hoaks-hoaksnya. Menggunakan pemikiran Derrida, mengatasi perihal maraknya informasi-informasi yang beredar secara silang sengkarut, kita perlu untuk melihat informasinya sebagai realitas yang dikonstruksi melalui “teks”. Bagi Derrida, segala sesuatu yang ada selalu mempunyai status teks. Segala sesuatu selalu terkait dengan hal-hal tekstualitas. Oleh karenanya, menurutnya, realitas adalah teks itu sendiri. Maka, agar kita tidak terbawa dalam arus kebohongan informasi, kita harus mampu membaca segala informasi yang ada dengan analisis intertekstualitas. Karena suatu teks (informasi) tidak pernah terisolasi, melainkan selalu berkaitan dengan teks-teks (informasi-informasi) lain. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *