Ilmuisasi Islam: Suatu Upaya Mewujudkan Islam Rahmatan lil `Alamin

Oleh: Satrio Dwi Haryono   

Islam lazimnya dikenal sebagai suatu agama yang sarat dengan ritual seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain. Tetapi apakah islam hanya berhenti pada suatu ibadah yang sifatnya transenden? Tidak, islam tidak berhenti pada ibadah saja, banyak kandungan al-Qur`an yang memiliki value kemanusiaan. Al-Quran sebagai petunjuk yang dihaturkan melalui lisan suci Nabi Muhammad memiliki banyak nilai yang hubungannya dengan dunia sini ataupun dunia sana (akhirat). Ahwal pertama itulah yang perlu dielaborasi dan dikaji secara mendalam.    

Dunia Ilmu pengetahuan yang kini di dominasi oleh Barat adalah suatu hasil perkembangan atas pencapaian luhur intelektual Islam pada abad pertengahan. Namun terdapat pelenyapan nilai yang menjadi karakteristik utama dunia intelektual Islam yakni nilai transendental. Sehingga ilmu pengetahuan barat yang diadopsi dari islam melalui gerakan penerjemahan abad pertengahan bersifat sekuler. Hal itu menjadi wajar ketika peradaban barat yang trauma dengan agama seperti yang ditampilkan oleh Kristen pada abad pertengahan yang mendegradasi manusia sehingga gerak manusia terbatas dan perkembangan ilmu menjadi stagnan.   

Peradaban barat modern menghancurkan dominasi gereja dengan semangat humanisme yang menjadikan manusia sebagai pusat alam semesta atau dengan bahasa lain yakni antroposentrisme yang mana tidak mengenal lagi terma teos atau tuhan. Hal itu juga implisit pada sumber pengetahuan zaman tersebut yakni rasio dan indera berbeda dengan sang Hujjjatul islam imam Ghazali yang berpendapat bahwa selain rasio dan indera, terdapat intuisi yang juga dapat memperoleh pengetahuan.   

Menjadikan manusia sebagai poros tidak akan menjadi masalah pada permualaannya, akan tetapi masalah akan muncul pada fase berikutnya seperti problem eksistensial manusia, individualis, egoistis, konsumeris, keterasingan atas teknologi, rasialis, dan sebagainya. Sehingga semangat kemanusiaan yang digaungkan peradaban barat modern berbalik menjadi pemerosotan kemanusiaan itu sendiri. Apa yang disebut sebagai humanisasi menjadi dehumanisasi.   

Kuntowijoyo sebagai ilmuwan mengupayakan perwujudan Islam rahmatan lil`alamin dengan menjadikan islam sebagai ilmu, bukan sekedar pelabelan islam terhadap ilmu. Kunto menggunakan kitab suci al-Qur`an sebagai basisnya. Karena eksperimen al-Qur`an di negeri Arab dimaksudkan sebagai model awal bagi terbentuknya sistem sosial islam. (Kuntowijoyo: 2004:21). Melalui paradigma Quran inilah yang berusaha meluhurkan kembali kemanusiaan dan keislaman.   

Kunto tidak menginginkan semua ilmu sekuler diubah menjadi ilmu islam, tetapi mengubah ilmu sekuler yang nihil nilai islami menjadi bernilai islam. Sedangkan ilmu sekuler yang telah bernilai islami tidak diperlu diotak-atik. Disini islam sebagai ruh, sedangkan jasmaninya bisa apa saja, termasuk ilmu sekuler.Setelah mencermati berbagai gejala dan patologi yang ditimbulkan oleh peradaban Barat, Kunto menyodorkan konsep Ilmu integral yang dielaborasi dari al-Qur`an surat Ali Imran : 110 Kamu adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma„rūf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.. Menurutnya, ayat tersebut mengandung berbagai nilai yang dapat mewujudkan Islam Rahmatan lil `Alamin.   

Penggalan ayat “kamu adalah umat terbaik” suatu konsep yang eksplisit dengan sifat manusia secara historis yang memiliki hak atas kesejarahannya serta sadar akan kehadiran zat ilahi yang turut dalam kehidupan manusia.“yang dilahirkan untuk manusia” merupakan seruan yang senada dengan ujaran-ujaran bahwa manusia adalah “makhluk sosial” yang diikat dengan komunikasi yang tidak terbatas pada lingkup geografis, suku, ras, agama, dan golongan tertentu.Penggalan ayat menyuruh kepada yang ma„rūf berdimensi humanisasi, mencegah dari yang munkar berdimensi liberasi, beriman kepada Allah berdimensi transendensi. Dimensi humanisasi merupakan semangat memanusiakan manusia atau dalam istilah agama yakni mengembalikan manusia pada fitrahnya. Dimensi tersebut adalah antitesis atas patologi yang disebabkan oleh peradaban barat modern seperti yang telah disebutkan di atas.

Sedangkan dimensi liberasi mengacu pada ranah ekonomi, sosial, politik, budaya dan ilmu pengetahuan. Kentara dalam kehidupan kita bahwasanya terjadi banyak permasalahan pada ranah-ranah tersebut, seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, money politik, hegemoni kebudayaan dan lain-lain. Tentu permasalahan tersebut perlu diatasi dengan suatu kesadaran kolektif yang sifatnya emansipatoris. Hal demikianlah yang nantinya akan mewujudkan Islam Rahmatan lil `Alamin.

Dalam upayanya Kuntowijoyo merumuskan 2 langkah untuk menempuh Ilmuisasi Islam, yakni Integralisasi dan Objektifikasi. Pertama, Integralisasi ialah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam al-Qur`an beserta pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi). Kedua Objektifikasi ialah menjadikan keilmuan islam sebagai rahmat untuk semua orang (Rahmatan lil `alamin) (Kuntowijoyo: 2004:4).Integralilasi dalam upayanya ialah integrasi keilmuan manusia dan wahyu tuhan. Adapula tahapan yang diperlukan ialah; agama, teoantroposentrisme, dediferensiasi, ilmu integralistik.

Pertama, agama yang dimaksud ialah wahyu Allah SWT yang melalui proses internalisasi dalam kehidupan manusia. Kitab yang diturunkan itu merupakan petunjuk, etika kebijaksanaan, dan dapat menjadi setidaknya Grand Theory (Kuntowijoyo: 2004:53). Seperti halnya Hadis Nabi “Manla yasykurinnasa laa yasykurillah.”  Yang tidak hanya mengandung relasi habbluminallah namun juga habbluminannas. Dengan kata lain, hadis tersebut tidak hanya hubungan manusia-tuhan tetapi juga relasi manusia-manusia. Jika ditelaah lebih dalam hadis ini adalah suatu kebijaksaan dan dapat juga dijadikan etic value yang objektif. Kedua, teoantroposentrisme adalah suatu upaya yang menjadikan wahyu dan kecerdasan manusia sebagai sumber pengetahuan. Dalam tahap ini agama tidak perlu menampakkan eksistensinya sebagai nilai. Sehingga para penganut agama lain turut menggunakan nilai agama yang telah dikonkretisasi dalam kehidupan tanpa harus menganut agama yang telah terkonkretisasi.

Ketiga, Dediferensiasi, yakni rujuk kembali, dalam artian menggabungkan wahyu tuhan dengan sektor kehidupan lain seperti ekonomi, sosial, politik, termasuk agama dan ilmu.Keempat, ilmu integralistik adalah ilmu yang menyatukan wahyu dan temuan manusia tanpa mengucilkan tuhan dan manusia, tanpa menjadikan sekuler dan asketis. Dengan itu dapat menyelesaikan konflik baik yang diduga agama atau rasial (manusia) sebagai penyebabnya.

Kita ketahui bahwasanya kemajuan yang dimenangkan oleh peradaban Barat memunculkan berbagai patologi-patologi sosial yang tidak hanya mengucilkan kehadiran kaum beragama namun juga mendegradasi kemanusiaan. Dengannya perlu konsep segar yang dapat meluhurkan nilai kemanusiaan dan keislaman serta mewujudkan Islam Rahmatan lil `Alamin yakni Ilmuisasi Islam. [SDH]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *