Qasim Amin : Bagaimana Seharusnya Perempuan Berperan

Oleh : Satrio Dwi Haryono

Sumber foto: https://neswa.id/artikel/tag/qasim-amin/

Pendidikan sebagai tolak ukur kemajuan suatu bangsa menjadi masalah pokok bagi bangsa yang tergolong dalam dunia ketiga. Berbagai pemikir mengemukakan pemikirannya tentang pendidikan guna mengakselerasikan bangsanya dari keterpurukan. Buah hasil pemikiran para tokoh pun banyak menuai perdebatan yang diduga bertentangan dengan nilai-nilai tradisi bahkan agama yang telah mendarah daging dalam kalangan masyarakat maupun agamawan.

Seperti halnya Qasim Amin, seorang tokoh reformis dari Negeri Piramida (baca: Mesir). Ia adalah putra dari keluarga aristokrat, ayahnya seorang gubernur di Kurdistan dan ibunya berasal dari keluarga Muhammad Ali Pasha. Amin mengenyam pendidikan di berbagai sekolah ternama di Mesir lalu melanjutkan pendidikan di Universitas Montepellier, Perancis.

Di Perancis, ia berjumpa dengan berbagai tokoh pembaharu islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Abdullah Nadim, dan lain-lain. Dalam perjumpaanya digunakan baik oleh Amin untuk bertukar gagasan mengenai masa depan Islam, khususnya Mesir. Ia menjadi murid sekaligus sahabat karib Muhammad Abduh yang nantinya akan banyak memengaruhi pemikiranya tentang emansipasi wanita.

Qasim Amin sering disebut sebagai penyempurnya atas ide-ide emansipasi wanita dunia Arab yang telah dibangun oleh Rifa`ah al-Tahtawi. Pemikiranya banyak menggelorakan semangat para pejuang emansipasi wanita setelahnya seperti, Nawwal Sa`dawi, Huda Sya`rawi, Tahir Haddad, dan lain-lain.

Karya-karya Qasim Amin meliputi bahasa Arab, Inggris dan Perancis. Hal itu tentu tidak mengejutkan dilihat bahwa ia pernah mengenyam pendidikan di Barat. Karya Qasim Amin yang menjadi Magnum Opus-nya ialah Tahrir al Mar`ah dan al-Mar`ah al-Jadidah. Karya Qasim Amin Tahrir al-Mar`ah layak mendapat perhatian. Karya yang ditulis pada tahun 1899 M ini menguraikan secara kritis ide-ide pembebasan perempuan, khususnya yang ada di Mesir. Penulisan Tahrir al-Mar`ah dilatarbelakangi oleh kesimpulan Amin yang menganggap bahwa reformasi perempuan dalam konteks struktur sosial memang mendesak untuk segera dilaksanakan (Qasim Amin :1899).

Dalam karyanya yang bertajuk Tahrir al-Mar`ah ia membagi pembahasa menjadi 4 tema pokok; Pendidikan Perempuan, Hijab, Perempuan dan Umat, dan Keluarga. Pada tulisan kali ini hanya akan mengksplorasi Pendidikan Perempuan.

Ide Pendidikan Perempuan menurut Qasim Amin tidaklah muncul begitu saja, tentu ada suatu hal yang menurutnya mendiskreditkan perempuan. Pandangan masyarakat Mesir kala itu bahwa perempuan tidak perlu diberi pendidikan dan pengajaran, bahkan mereka mempersoalkan apakah belajar menulis dan membaca itu suatu yang diperbolehkan syara` ataukah sesuatu yang diharamkan? (Muhammad Immarah:1976).

Pandangan seperti diatas juga terasa hingga negeri kita ini, namun dengan orientasi yang berbeda. Alhasil sering terdengar di masyarakat bahwa wanita itu hanya masak, macak (bersolek), manak (melahirkan). Tentu tiga kata tersebut akan membuat perempuan stagnan pada subordinasi, meminjam istilah Simone de Beauvior yakni sebagai The Second Sex. Padahal, jika dilihat dalam sejarah kemerdekaan Indonesia terdapat banyak perempuan yang turut berjuang seperti R.A Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, dan lain-lain.

Jika dilihat dari sejarah islam banyak pula tokoh wanita yang memiliki peran signifikan bagi perkembangan islam seperti, Ummu Salamah, Ummu Ammarah al-Anshariyyah, dan lain-lain. Pun didalam al-Qur`an diabadikan sejarah kepemimpinan oleh perempuan yang disebutkan bahwa  Ratu Balqis yang menjadi pemimpin negeri Saba`.

Qasim Amin berusaha merombak anggapan masyarakat Mesir kala itu tentang perempuan. Dengan hal itu, ia mengembangkan ide yang telah dibangun oleh at-Tahtawi dan gurunya Muhammad Abduh. Idenya tidak hanya berpusat pada perempuan sebagai individu namun kiprah perempuan terhadap kemajuan bangsa baik sebagai anggota masyarakat atau sebagai ibu rumah tangga.

Menurut Qasim Amin dalam karyanya Tahrir al-Mar`ah disebutkan bahwa “Kita (pendidik) harus memberikan keleluasan padanya (wanita), berjalan di dunia dengannya, dan menunjukkan keajaiban alam semesta, keagungan ilmu pengetahuan, seluk beluk seni, peninggalan bersejarah dan penemuan-penemuan kontemporer. Ia (wanita) juga harus ikut andil dalam pemikiran, harapan, kegembiraan dan kesedihan kita (pendidik). Ia pun (wanita) harus hadir dalam perkumpulan sosial dan mendapatkan manfaat dari karakter moral dan ide-ide yang berkualitas.”

Dengan pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa dengan wawasan yang dimiliki perempuan setelah melakukan pengembaraan pengetahuan akan didapati kualitas dalam diri perempuan baik saat memposisikan diri sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai anggota masyarakat.

Dengan Pendidikan Perempuan, ketika perempuan memposisikan diri sebagai ibu rumah tangga yang menjadi poros pendidikan paling dasar bagi anak-anaknya dan sebagai istri dari suaminya pasti akan melakukan tugas-tugasnya dengan baik.

Telah menjadi postulat bahwa anak lebih dekat dengan ibu ketimbang ayahnya. Hal itu menjadi amat penting peran ibu terhadap si anak dalam mengasuh, menanggung, dan mendidik penuh dengan kasih sayang. Dalam mendidik anak-anaknya, ibu memberikan wawasan  luas yang dimilikinya serta menginternalisasikan akhlak mulia. Dengan demikian, akan menentukan pula kiprah si anak yang nantinya mengemban tugas sebagai penerus bangsa.

Di sisi lain, akan sangat aneh jika pendidikan hanya diberikan kepada pria, padahal yang memegang kendali atas potensi anak sepenuhnya di pihak perempuan. Secara gamblang, perempuan malah perlu untuk mendapat pendidikan lebih luas ketimbang pria. Sebab, selain mendidik anak yang membutuhkan pengetahuan `luar rumah` ia juga perlu membutuhkan pendidikan `dalam rumah` guna merangkap peran sebagai suami dan ibu rumah tangga.

Hari ini, tidak dapat dipungkiri kontribusi perempuan dalam memajukan peradaban. Dalam perjalanan sejarah, tidak sedikit perempuan yang pernah menduduki sebagai kepada negara. Pun, tidak sedikit perempuan yang turut memberi kontribusi positif di bidang ilmu pengetahuan. Dari pekerjaan yang menggunakan otot maupun otak disitu pasti ada minimal seorang perempuan yang turut berkontribusi.

Maka dari itu, pentingya Pendidikan Perempuan tidak hanya berhenti pada aktivitas individu melainkan lebih dari itu. Aktivitas manusia yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, bagi keluarga, dan bagi masyarakat atau bangsa. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *