Oleh: Muhammad Fatkhur Rokhman
Kebanggaan sebagai orang yang beriman seringkali menjadikan orang tersebut memandang rendah agama lain. Terang saja hal ini membuat kita sedikit gelisah mengenai agama yang seharusnya menjadikan manusia berbakti dan berbudi pekerti luhur, justru melahirkan iblis versi mereka. Ini mengingatkan saya kepada beberapa insiden mengenai penyerangan terhadap agama tertentu.
Contoh dekat seperti yang terjadi pada bom Bali yang banyak menewaskan warga asing yang notabene pada saat itu sedang berwisata di Bali. Latar belakang pengeboman ditengarai dikarenakan orang-orang yang mengaku diri beragama Islam itu mempunyai anggapan buruk mengenai barat yang membenci Islam dan bahkan memerangi Islam. Juga ada lagi peristiwa di luar negeri juga pernah ada seorang secara terang-terangan membantai seluruh jamaah sholat jum’at di suatu masjid di Selandia Baru yang sempat viral di media sosial dengan motif ingin meminimalisir dan menanamkan rasa takut kepada para penjajah yang diidentikkan dengan orang islam dan Eropa lainnya (mengutip dari liputan6.com).
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan tanpa adanya agama manusia akan baik-baik saja? Menurut informasi di atas bahwa sentimen antar pemeluk agama atau kepercayaan sering terjadi. Dan, pembahasan mengenai agama juga merupakan sesuatu hal yang sangat sensitif. Terutama pada suatu negara yang memiliki banyak pemeluk agama dan kepercayaan yang bermacam-macam seperti Indonesia. Dengan agama Islam sebagai agama dominan dan agama-agama lain menjadi minoritas membuat agama Islam harus menjadi se-toleransi mungkin, namun banyak yang mengaku tidak sepenuhnya mengerti dan hanya ikut-ikut saja terkadang menjadi sasaran empuk untuk dimasuki doktrin-doktrin kebencian terhadap agama lain yang menghadirkan tindakan terorisme. Itu juga berlaku untuk agama yang lain karena saya percaya bahwa tidak ada satupun agama yang membenarkan kekerasan dan pembunuhan massal.
Namun, benarkah jika tidak ada agama maka pertikaian atau sentimen terhadap agama satu dengan yang lain akan hilang atau tidak pernah terjadi?
Saya akan mengutip dari Karl Marx yang mengatakan bahwa “agama adalah candu”. Maksudnya di sini bukan mengatakan bahwa agama adalah salah. Tapi menurut Marx, agama bagi masyarakat hanya sekedar obat penenang yang mana ketika masyarakat sedang berada dalam kesusahan mereka akan berlari kepada agama yang akan membuat mereka merasa ditenangkan. Dan bahkan, kecanduan ini kadang menjadikan para pemeluknya tidak sedikit yang terkekang dan tidak bisa memajukan peradabannya dengan majunya ilmu pengetahuan.
Candu yang dimaksudkan oleh Karl Marx, menurut saya tidak sepenuhnya jelek, bahkan dalam terapi kejiwaan agama juga menjadi alternatif yang bisa diambil untuk pemecahan masalah mengenai kejiwaan. Namun, kecanduan tersebut juga akan sangat tidak menguntungkan ketika orang tersebut terlalu fanatik terhadap agamanya. Orang-orang menyebutnya fundamentalis, sebagai penamaan atas terlalu ketatnya dia dalam beragama.
Sekarang masalahnya, jika tidak ada agama atau suatu kepercayaan apakah itu sesuatu yang bagus? Jawabannya tentu tidak. Memang benar apa yang dikatakan Marx, bahwa masyarakat cenderung membuat agama hanya sebagai pelampiasan ketika mereka sedang mengalami kesedihan hati. Terutama jomblo-jomblo yang sering ditolak lamarannya sama gebetan. Begitu patah hati langsung taat agama, bahkan tahajjud atau sholat di sepertiga malam. Ketika jaman dulu ada yang bilang “cinta ditolak dukun bertindak”, sekarang jadi beda “cinta ditolak Allah bisa berkehendak”.
Jika dipikirkan lagi “kebucinan” memang sudah merajalela, bahkan ada yang rela hujan-hujan demi kata “maaf” dari gebetan. Yang lebih parahnya lagi gara-gara bucin sampai berani bunuh diri. Ini membuktikan bahwa mental health itu dibutuhkan oleh setiap orang bukan hanya para bucin dan agama menyediakan hal itu.
Kembali lagi, tentang moral dan etika terhadap sesama yang sudah dibahas terlebih dahulu seperti yang diatas bahwasannya sentimen antar agama sering terjadi bahkan sampai memakan korban jiwa. Itu pun setiap agama pasti melarang adanya pertikaian dan perang. Jadi, coba bayangkan ketika tidak ada agama yang melarang mengenai pertikaian dan perang. Sudah barang jadi akan banyak peperangan dan moral etika pun tidak akan terbentuk dengan baik. Jika ada yang bilang bahwa kebijakan manusia bisa mengatasi permasalahan moral dan etika, maka juga perlu dipertimbangkan mengenai Hak Asasi Manusia seberapa banyak hal tersebut berdampak terutama bagi ras yang sering ditindas yaitu ras kulit hitam yang sampai sekarang masih belum mendapatkan kemerdekaannya dari prasangka buruk.
Islam datang membawa solusi bagi bahwasaannya dalam tubuh agama Islam sendiri meniadakan satu dan banyak hal yang merupakan akar dari perselisihan seperti larangan menggunjing, menghargai setiap orang, berpikiran positif, mewajibkan berbuat baik kepada banyak orang tanpa melihat status orang tersebut, dan lain sebagainya. Bahkan Islam juga menghapuskan sistem budak yang dulunya sudah lama eksis terlebih dahulu yang membawa asumsi bahwa budak itu derajatnya lebih rendah dari orang lain di sekitarnya. Bahkan strata sosial seperti apa yang dilakukan agama lain dengan mengelompokkan kedudukan sosial manusia dalam beberapa golongan. Namun demikian, penganut agama lain sepertinya tidak suka ketika Islam dengan gencar menjadi yang terdepan dalam kadar toleransi dengan sesama dan menjadikan agamanya seperti tertinggal dan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan agama Islam. Banyak skenario dibuat untuk membuat agama Islam jelek dan membuat masalah ini semakin berlarut.
Bukan agama yang menjadi inti permasalahan yang berlarut-larut ini, tapi manusianya yang menyebarkan kebencian. Allah SWT tidak pernah menyuruh hambanya untuk berseteru tegang dengan penganut agama lain. Tetapi dari hamba sendiri yang kurang berpengetahuan dan hanya bermodal iman yang tinggi dengan alasan membela agamanya itulah yang justru semakin memperkeruh keadaan. Beriman dan taat adalah dua hal penting dalam agama Islam, namun pengetahuan mendalam dalam agama juga perlu dipupuk sehingga perseteruan yang dipicu oleh perbedaan agama dapat diperkecil dan stigma negatif mengenai agama terutama Islam bisa sedikit demi sedikit menghilang. []