Oleh: Setiyani Eky
Perempuan dan laki-laki seringkali terikat pandangan umum masyarakat mengenai peran perempuan dan laki-laki yang berasal dari norma sosial dan budaya. Misalnya, peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dan laki-laki sebagai tulang punggung keluarga atau pencari nafkah, seringkali membatasi baik perempuan maupun laki-laki dalam memenuhi potensi diri masing-masing. Adanya pelekatan peran seperti inilah yang menjadi akar dari suatu bias gender.
Untuk memahami akan makna dari bias gender, maka perlu diketahui hakikat gender itu sendiri. Gender merupakan perbedaan secara sosial untuk menggambarkan semua atribut yang diberikan secara sosial antara lain peran, kegiatan, dan tanggung jawab atas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tertentu. Gender merujuk pada hubungan antara laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan, dan bagaimana hubungan sosial tersebut dikonstruksikan. Biasannya gender ditentukan oleh tempat dan budaya masyarakatnya. Peran gender bersifat dinamis dan dapat berubah antar waktu. Banyak orang yang salah mengartikan bahwa gender itu merupakan jenis kelamin, maka di sini perlu digaris bawahi bahwa gender itu bukanlah jenis kelamin melainkan sifat—lebih tepatnya sifat bentukan. Ada yang “feminis” dan ada yang “maskulin”.
Sifat feminis bercirikan lemah, lembut, dan keibuan sedangkan sifat maskulin bercirikan kuat, keras, tangguh, dan gagah berani. Sifat feminis tidak melulu harus dimiliki oleh perempuan dan sifat maskulin juga tidak melulu harus dimiliki oleh laki-laki karena sifat atau gender ini dibentuk oleh manusia itu sendiri. Gender dapat diubah dan ditukar, karena sifat merupakan bentukan yang dibuat oleh manusianya masing-masing. Misalnya, perempuan tidak selalu bersifat lemah, lembut, dan halus tetapi banyak juga diluar sana perempuan bersifat kuat, berani, dan keras atau biasa disebut dengan istilah tomboy. Begitupun sebaliknya dengan sifat laki-laki yang tidak harus keras, kuat, dan gagah.
Kemudian ada satu pertanyaan yang sering ditanyakan dan harus diperjelas, apakah gender itu termasuk kodrat? Jawabannya adalah bukan. Gender dan kodrat itu dua hal yang berbeda. Kodrat adalah sesuatu yang ditetapkan oleh Tuhan YME, sehingga manusia tidak mampu untuk mengubahnya ataupun menolaknya. Kodrat dari setiap perempuan yaitu menstruasi, hamil (melahirkan), dan menyusui sedangkan kodrat laki-laki ialah mempunyai sperma. Kodrat sifatnya universal (tetap sepanjang hayat dikandung badan) sedangkan gender lebih menekankan pada pembagian peran dan tugas yang diatur oleh manusia (masyarakat) dan setiap masyarakat satu dengan masyarakat lainnya itu berbeda, bahkan dalam suatu masyarakat pun senantiasa mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
Pembagian peran dan tugas inilah yang banyak menyebabkan salah arti mengenai kodrat. Banyak masyarakat awam mengatakan bahwa kodrat perempuan itu harus di rumah melayani suami, memasak, mengurus anak, mengurus rumah, dan lain sebagainnya. Namun, hal itu tidak dapat dibenarkan, karena sejatinya kodrat seorang perempuan itu hanya ada tiga, yaitu menstruasi, hamil (melahirkan), dan menyusui. Selebihnya dari itu, laki-laki pun bisa melakukan pekerjaan domestik seperti memasak, mengurus rumah, belanja kebutuhan dan untuk mengurus anak sekalipun.
Terlebih di masa pandemi ini, menjadi perempuan seperti harus memanggul dunia. Perempuan dituntut untuk menjadi istri, ibu, sekaligus guru dan seseorang yang harus mengurusi kehidupannya sendiri. Belum lagi jika kebutuhan dan ekonomi keluarga belum tercukupi. Seorang perempuan juga harus ikut terjun dalam dunia pekerjaan. Beban seorang perempuan menjadi berlipat ganda bahkan dua kali lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Hal itu dikarenakan adanya salah arti mengenai kodrat dalam masyarakat tadi yang mengharuskan seorang perempuan mengurus pekerjaan domestik sepenuhnya.
Nah, dari keharusan itulah para perempuan merasa adanya ketidakadilan sehingga terciptalah bias gender. Apa itu bias gender? Bias gender terjadi apabila salah satu pihak dirugikan sehingga mengalami ketidakadilan. Ketidakadilan yang dimaksud adalah apabila salah satu gender lebih baik keadaan, posisi, dan kedudukannya. Bias gender dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi di Indonesia ini, bias gender lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan.
Perempuan kerap kali dipandang sebagai masyarakat kelas dua, diperlakukan berbeda daripada laki-laki terlebih dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Seringkali diragukan karena dianggap tidak mampu dan tidak layak. Pada akhirnya terjadilah banyak ketimpangan yang dialami oleh kaum perempuan. Dimulai dari finansial ketika perempuan bekerja. Upah bagi perempuan lebih sedikit dibandingkan dengan upah laki-laki, perempuan juga lebih cenderung terkena PHK atau terancam karirnya dibandingkan dengan laki-laki. Faktor norma sosial pun seringkali menuntut para perempuan untuk bisa mengambil alih lebih banyak pekerjaan domestik dibanding laki-laki karena dianggap sudah menjadi kodratnya. Dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan pun perempuan masih di nomorduakan.
Lantas bagaimana kita menyikapi adanya isu bias gender ini? yang perlu dilakukan sebagai upaya merespon isu kesetaraan gender ini adalah dengan memperjuangkan keseimbangan gender, menghapus ketimpangan gender atau bias gender ini, memberikan kesempatan yang sama pada kedua gender, saling menguntungkan kedua gender, serta menegakkan keadilan bagi kedua gender. Karena munculnya tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ini perlu direspon secara proposional baik oleh laki-laki maupun perempuan. Jika tidak maka tetap saja isu bias gender atau kesetaraan gender ini hanya akan menjadi suatu wacana yang tak berujung.
Jangan sampai kita alergi terhadap pembahasan kesetaraan gender ini, karena akan memberikan dampak negatif bagi penyumbatan pembangunan secara utuh. Oleh karena itu, perlunya menyikapi isu bias gender ini sebagai wujud kepedulian kita terhadap berbagai aktivitas hidup yang mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang harmonis. []