Oleh: Satrio Dwi Haryono
Seperti ungkapan para sejarawan bahwasanya perubahan zaman pasti disyaratkan dengan proses dialektika. Suatu zaman pasti memimpikan suatu tatanan kehidupan yang lebih baik dibanding zaman yang telah dilalui. Akan tetapi, suatu zaman akan mati dengan sendirinya atas kebudayaan dan peradabannya yang saling berdialektika setiap waktunya.
Bangsa Yunani ketika belum mengenal pemikiran logis masih bergumul dengan dewa-dewa dengan kata lain masih erat kaitanya dengan mitologi atau mitos. Lalu ketika tersebarnya ilmu pengetahuan yang berpusat di Mesir dan Mesopotamia yang dapat merangsang para pemikir untuk menanyakan ulang mitologi tersebut. Lahirlah berbagai pemikiran yang ingin mengetahui rahasia alam semesta tanpa campur tangan dewa-dewa. Munculah Thales dan para filosof lainya yang berusaha mengungkap hakikat alam semesta.
Ketika pemikiran kritis dikenal berbagai kalangan pada masyarakat Yunani terdoronglah kesadaran pendidikan yang dipelopori oleh “Kaum Sofis”. Dengan kehadiran kaum sofis munculah kejahatan intelektual yang beranggapan bahwa para Sofis adalah orang yang suka berbohong, suka menipu, pandai menggunakan argumen yang tidak sah, mengajar untuk mendapatkan uang, dan menjual kebijaksanaannya.
Lalu munculah Socrates sebagai antitesis dari kaum sofis yang berusaha mendobrak kejahatan intelektual yang dilakukan Kaum Sofis. Poros kajianya pun melebar pada manusia. Socrates juga mengilhami pemikiran muridnya, yakni Plato, terutama pada masalah-masalah etika yang tertuang pada pemikiran plato tentang “Yang Baik.” Plato pun mengilhami pemikiranya kepada Aristoteles yang menjadi murid terpandainya. Sehingga, Aristoteles ditugaskan untuk mengajar logika dan retorika di akademia.
Ketika kebudayaan Yunani berdialog dengan kebudayaan Romawi yang cenderung mewarisi gagasan-gagasan Plato yang berbau intelek-mistik menghasilkan kebudayaan yang dinamakan Skolastik yang melahirkan sekolah-sekolah bernuansa platonik. Dengan muatan religi yang begitu kental beimplikasi menjadikan Tuhan sebagai poros pemikiran pada waktu itu. Sehingga zaman ini memusatkan perhatian pada Tuhan dan disebut sebagai “Teosentris”.
Terlebih terjadi penyelewengan atas nama Tuhan. Seakan pendeta memiliki kuasa penuh atas langit. Tidak hanya langit, gereja pun membelenggu segala lini kehidupan manusia termasuk ilmu pengetahuan. Maka dari itu, dunia keilmuan barat pada abad pertengahan mengalami kemunduran dan disebut dengan Abad Kegelapan.
Setelah dunia intelektual dipenjara oleh otoritas gereja pada abad pertengahan munculah percikan-percikan gerakan perlawan terhadap otoritas gereja. Gerekan tersebut dimulai di Italia yang disebut Rennaisans. Gerakan ini pada mulanya adalah gerakan kecil sekelompok sarjana dan seniman yang didukung oleh Medici dan paus-paus yang humanis. Pada akhirnya menghasikan orang-orang besar seperti Leonardo, Michelangelo dan Machiavelli.
Bangkitlah ilmu pengetahuan di segala bidang khususnya sains yang dimotori oleh Copernicus, Kepler, Galileo dan Newton. Meskipun nuansa gereja masih begitu kental menyudutkan para saintis bahkan sampai membunuhnya, namun sains tetap mengepakkan sayapnya. Hal itu beriringan dengan kemajuan di bidang filsafat dengan kajiannya tentang jiwa yang dimotori oleh Rene Descartes di Perancis, logika yang dimotori Francis Bacon di Inggris, dan lain sebagainya.
Lalu munculah aliran-aliran filsafat yang memusatkan kajian pada ilmu pengetahuan seperti Rasionalisme, Empirisme, dan lain-lain. Belakangan muncul Materialisme dan Idealisme yang turut mewarnai dunia filsafat di Barat. Yang beriringan dengan zaman pencerahan yang terdapat dua peristiwa besar yakni, Revolusi Inggris dan Revolusi Perancis.
Manusia yang hidup pada zaman itu memiliki keyakinan bahwasannya mereka mempunyai masa depan yang cerah dan berkat rasio mereka sendiri. Dengan semboyan yang dicetuskan oleh Kant, “Sapere Aude!”, yang berarti: “Beranilah berpikir sendiri!”.
Pemikiran filsafat modern berkecimpung pada masalah manusia seperti halnya gagasan rasio dan ego dalam pemikiran Rene Descartes, ide absolutnya Hegel, Kritisismenya Kant, objektivitasnya saintis, emansipasi ala Marx, kemajuan linier dan lain-lain. Di dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas diidentikan dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat, kejayaan kapitalisme, penemuan-penemuan teori ilmu alam, serta di bidang politik mulai subur konsep nation-state, dan-lain-lain.
Dalam penampilanya yang mutakhir modernisme menimbulkan berbagai persoalan-persoalan dan berseberang dengan gagasan awal atau ide awal modernisme. Banyaknya ditemukan kontradiksi semisal, humanisme yang dibangun pada awal modern yang justru pada akhirnya memnjungkirbalikan manusia itu sendiri, kemajuan yang digaung-gaungkan justu melakukan pembakuan secara ketat pada bidang pengetahuan. Ditambah dengan lahirnya berbagai problematika, dehumanisasi, diskriminasi, alienasi, pengangguran, rasisme, termasuk lahirnya distingsi antara kaya dan miskin.
Jean Francis Lyotard seorang filsuf Prancis dalam bukunya, The Postmodern Condition: A Report On Knowledge (1984), menolak filsafat modern yang berpijak pada prinsipya, yakni kesatuan ontologis yang pada akhirnya dipengaruhi teknologi sehingga denganya kekuasaan akan tersebar dan terbagi. Untuk itu, Lyotard menawarkan ide paralogi atau pluralitas (Indriyana: 2017:27). Dengan kata lain, manusia harus membuka kesadarnya dan menerima realitas yang sifatnya plural.
Lebih radikal lagi Lyotard melontarkan kritik pada prinsip-prinsip modernisme: ego, rasio, ide absolut, teleologis, emansipasi, oposisi biner, kemajuan, disebutnya sebagai Narasi Besar (Grand Narrative) telah mati dan tak lain hanyalah kedok belaka, mistifikasi, eksploitatif, ideologis, semu dan dominatif.
Derrida seorang filsuf Perancis menyerang dari sisi lain. Ia mencoba mendekontruksi asumsi-asumsi modernisme. Dekontruksi berusaha membongkar pandangan tentang fondasi, pusat, prinsip, dan dominasi. Sehingga dekontruksi menjungkirbalikan kondisi semula dan berusaha menelusuri makna-makna yang tidak dijamah oleh Modernisme.
Dekontruksi mencoba mempertanyakan, menyingkap ide-ide modernisme dan memunculkan paradoksnya (Hidayat: 2012). Seperti Humanisme Modern yang digadang-gadang dapat menyelesaikan masalah kemanusiaan, justru malah memunculkan berbagai permasalahan kemanusiaan seperti kelompok etnis, kaum feminis, ras kulit hitam dan lain-lain.
Foucault membombardir modernitas dengan lebih tajam. Ia mengawali dengan mengamati realitas mikro yang berkebalikan dengan modernisme yang berpusat pada realitas makro atau ke-universalitas-an. Ia juga berpandangan bahwa pengetahuan tentang kebenaran akan selalu terikat dalam sosio-historis yang sifatnya temporal. Berlawanan dengan modernisme yang berpegangan dengan konsep kebenaran obyektif dan universal.
Foucault mencoba memberedel relasi kuasa dan pengetahuan, dalam anggapan modernisme pengetahuan murni dan pengetahuan kuasa berjarak dan bukan suatu realitas yang tunggal. Namun, dalam anggapan Foucault dua pengetahuan tersebut bagaikan dua sisi mata uang yang sama. Dalam pandangan Foucault, suatu pengetahuan akan diproduksi dan diseleksi guna mempertahankan kekuasaan dan melindungi dari berbagai ancaman serta dari upaya yang melemahkanya.
Disisi yang lain Jean Baudrillard mengkritik modernitas dari ranah kebudayaan masyarakat. Dalam hematnya, realitas sudah tidak lagi menampilkan wajahnya yang asli melainkan telah menampilkan wajah-wajah tipuan. Antara yang asli dan palsu sudah bertubrukan dan menjadi samar.
Wajah realitas yang samar terbukti seperti yang ditampilkan dalam media tentang Islam di dunia barat yang hanya mencitrakan Islam sebagai agama teroris. Namun apakah benar demikian? Seberapa besar kesesuaian realitas yang ditampilkan media dengan realitas yang asli? Semisal, amerika dalam membuat film Rambo yang memerankan tokoh heroik dalam memenangkan pertempuran, tetapi apa yang ada di balik film favorit berbagai kalangan itu? Yakni untuk menutupi fakta atas kekalahan dalam Perang Vietnam,
Dalam hal jual-beli pun demikian, iklan produk yang menampilkan sisi indahnya produk meskipun banyak ditemukan kecacatan bahkan kepalsuan ketika menerima produk atas apa yang dibeli dari daya tarik iklan, lebih parah lagi filter foto yang tersedia di berbagai aplikasi yang merekayasa kecantikan seseorang. Dalam bahasa Baudrilard ini disebut dengan Hyperealitas, dimana antara fakta dan citra saling bertubrukan.
Hyperealitas telah melampaui realitas, sehingga realitas, kebenaran, fakta, dan obyektivitas kehilangan eksistensinya (Hidayat : 2012). Realitas yang tak nyata terus dikendalikan dan terus menerus diproduksi. Sehingga fenomena hyperealitas ini diikuti oleh fenomena hyper-hyper yang lainnya seperti, hypermarket, hypersexuality, hypersensibility, dan lain-lain.
Di atas telah dijabarkan bahwasanya paradigma kebenaran obyektif dan universalitas yang diusung filsafat modern telah mengalami kepunahan. Apa yang dijanjikan ideologi-ideologi besar malah menimbulkan berbagai anomali-anomali baru. Teori-teori sosial maupun alam telah kehilangan koherensinya. Teori-teori filsafat modern pun telah ditinggalkan. Semuanya telah hancur berkeping-keping. Mulailah paradigma baru, yakni paradigma postmodernisme. []