Oleh: Ahmad Miftahudin Thohari
Di titik sebelah manakah engkau memijakkan kaki, sehingga kuat kuda-kuda kakimu untuk tetap tegak berdiri supaya tak terombang-ambing kehidupanmu di tengah hantaman badai kebingungan zaman? Dan, dengan posisi seperti apakah engkau menegakkan diri, supaya bola matamu tepat berada dalam garis lurus sehingga engkau dapat melihat kehidupan secara jernih dan akurat?
Bencana zaman sudah sedemikian menari-nari. Di satu sisi, engkau dapati arus informasi seperti banjir bandang yang berhasil menghanyutkan dan menenggelamkan akal kesadaran hidup.
Manusia menjadi semakin dungu, justru pada saat buah-buah informasi begitu mudah diakses—didapatkan. Engkau bisa melihat media-media tiap saat terus saja bergulat dengan berita-berita yang memusingkan kepala. Media sosial atau ragam sosmed-sosmed juga semakin mendukung gerak laju kepandiran zaman. Dan, para manusia semakin gandrung menyetubuhinya tanpa rasa hina. Hari demi hari, tanpa pernah berhenti.
Sedang di sisi lain, banjir, tanah longsor, gempa bumi dan sebagainya kian meluluh-lantakan bangunan kehidupan.
Para penguasa kini tak hanya bersikap berkuasa. Para pemimpin menjadi contoh sosok yang ampun sekali untuk dijadikan figur di depan—ia menjadi sebuah contoh perilaku yang tak layak ditiru. Sedangkan di lain pihak, para cendekia, tokoh intelektual, sarjana akademisi, pun tokoh-tokoh agama, budayawan dan sastrawan juga lebih memilih mengartikulasikan nada ucapannya atas realitas zaman dengan pilihan lapis retorika yang paling lembut—yang sulit dipahami. Dan, aku di sini akan pula memilih memahami itu dengan tatapan anggapan bahwa: zaman sedang memuisi, di mana dunia sedang menggurat puisi-puisi yang menggambarkan dirinya sendiri, di hari ini.
Engkau bisa saksikan ornamen-ornamen sketsa, guratan dan goresan menyatu padu menjadi sebuah abstraksi semesta yang lusuh. Engkau bisa saksikan warna-warni telah menjadi adonan yang bercampur aduk. Engkau bisa saksikan wajah dunia tampil dengan rona yang lucu dan rancu. Engkau bisa saksikan tubuh dunia dihias sedemikian rupa dengan nilai-nilai yang ditata oleh sistem dan struktur tak pada tempat semestinya. Engkau juga bisa saksikan, bahwa dulu para manusia begitu sibuk mencari kebenaran di dalam dirinya dengan cara mengoreksi setiap hitungan-hitungan langkahnya dengan sangat teliti. Dan, kini engkau saksikan sesuatu yang berbeda, di mana manusia telah berhasil memadukan antara keduanya mengakulturasi secara lembut sehingga harga dari nilai sebuah kebenaran hanya bisa diperdebatkan dan dipertentangkan.
Dan lagi, engkau bisa saksikan pula posisi-posisi dan penyikapan terhadap nilai agama, politik, kebudayaan serta hukum sudah semakin kehilangan kemungkinannya untuk bisa benar-benar sampai di sebuah titik ujung kutub acuan yang tepat. Sebab segala akurasi dan orientasinya telah diberlakukan secara kian silang sengkarut. Sehingga nilai-nilai itu demikian melayang-layang dan terombang-ambing di tengah-tengah kebingungan untuk berlabuh pada pijakan yang pas—untuk sungguh-sungguh dapat berhenti di titik kutub yang seharusnya.
Pun, nilai agama, ilmu, moralitas, demokrasi dan cinta kasih sosial menjadi suatu prinsip-prinsip nilai yang sulit sekali menemui esensi makna dan eksistensi implementasinya dalam kehidupan. Serta, akan semakin sukar pula untuk bisa bertemu atau bahkan menemui “sosok”, “seseorang” maupun “manusia” itu sendiri dengan segala mekanisme kubu yang dipilih dan fokus golongannya masing-masing, sebab yang bisa ditemui saat ini hanyalah bentuk-bentukan benda yang sulit sekali dirumuskan apalagi dipahami bahkan dengan khazanah maupun wacana keilmuan model apapun. Hanya sempalan-sempalan dan cabikan-cabikan nilai yang dapat ditemui, dan itupun sebatas dimaknai demi sebuah kepentingan sesaat sesuai kecenderungan selera budaya, grand design politik, orientasi laba dan ketololan spiritual, yang itu timbul dalam diri manusia secara serta-merta.
Zaman sedang memuisi. Para manusia mengekspresikan suasana kekeruhan hati dan kegamangan pikirannya dengan artikulasi ungkapan nada yang bermacam-macam. Satu jenis diantaranya membumikan kata-kata langitnya dengan cara halus dan sedemikian lembut. Satu jenis lagi melangitkan kata-kata buminya dengan sangat lantang, penuh energisitas semesta raya.
Susunan denotasi dirangkai secara apik. Rangkaian konotasi disusun secara indah. Di saat yang sama, denotasi dipahami lewat simbol-simbol konotatif dan konotasi dicerdasi melalui paradigma berpikir serba denotatif. Bahasa hukum dimaknai dengan bahasa sastra, sedang bahasa sastra diartikan justru dengan bahasa hukum yang kaku. Seluruh istilah, idiom maupun terminologi kini saling tumpang tindih dan berjejal-jejal.
Sebagai contoh, kalau hendak mengurai sebuah pohon, umpamanya. Tak diawali metodenya dengan cara menilai bagaimana struktur unsur-unsur zat haranya. Tak juga dipahami jenis tanah dan tipe akarnya. Tak diselami kontruksi batang penopangnya yang lantas menghasilkan dahan dan rating-rating sebagai cabang perwujudkan bentuk selanjutnya. Sehingga terjawab bagaimana sebuah daun bisa menumbuhkan suatu buah yang rasanya manis, masam ataupun pahit. Walhasil, orang sudah semakin kehilangan landasan berpikir dan penilaian yang utuh dan komprehensif atas segala sesuatu.
Contoh lagi, kalau saja temanmu detik ini mendapatimu sedang mengikuti dan melakukan kajian ilmu, di selang beberapa puluh meter selanjutnya temanmu itu bertemu dengan temanmu yang lain yang mengatakan bahwa engkau sedang asyik nongkrong di café sambi rokok’an—maka temanmu akan percaya bahwa engkau sedang berada di café.
Oleh karena itulah, zaman memang benar-benar sedang memuisi. Kehidupan telah tampil di hadapanmu tidak sebagai sebuah “realitas”, tetapi sebagai sebuah reality design yang telah mengalami kristalisasi makna yang teramat sukar dicerna. Para manusia menampilkan dirinya dengan sedemikian rupa tidak sebagai seseorang yang pure present people, tetapi dengan topeng ganda yang penuh citra sosial. Dan, engkau akan dinilai sangat naif, apabila sekadar memahami personality perform tanpa melihat konsep tendesius dibalik retorika aktualisasi cara mainnya. Engkau akan tertipu dan jatuh lumpuh ke dalam jurang kepalsuan budaya.
Pada akhirnya, engkau juga tak bisa mengelak dari itu semua. Mau bersembunyi di dalam tanah bahkan masuk ke alam ghaib sekalipun, engkau tetap akan terpergok oleh semua itu. Satu-satunya jalan untuk selamat adalah mengambil sebuah putusan yang bernilai harga mati. Maka dari itu, engkau tetap harus waspada dalam keadaan apapun. Bahkan, waspada di dalam kewaspadaanmu sendiri.
Aku hanya mampu berharap, bahwa akan lahir nantinya seorang penyair, satrawan atau apapun itu dengan puisi-puisi yang dapat mengembalikan semerbak bau harum dari bunga-bunga segar yang kembali mekar.
Sedang aku sendiri tak lebih hanyalah salah satu peserta lomba marathon yang berlari tertatih-tatih di ujung ekor zaman. Akan tetapi, aku tetap bersyukur sebab Sang Maha Penyair setidaknya telah berkenan memberikan kesempatan kepadaku untuk ikut dalam perlombaan marathon zaman yang amat panjang dan masih demikian jauh ujung garis finishnya ini.
Sedangkan engkau, wahai kawanku yang budiman. Tidakkah kau berkenan ikut? []