Pelatihan Epistemologi, Sebuah Pengantar Ontologi

HMPS AFI IAIN Surakarta

Jumat, 25 September 2020, HMPS AFI IAIN Surakarta memberlangsungkan salah satu agendanya “Pelatihan Epistemologi” dengan tema “Ontologi: Sebuah Pengantar”. Ontologi adalah salah satu dari tiga pembahasan besar yang ada dalam filsafat. Sebuah bahasan awal mengenai hakikat keberadaan atas sesuatu—utamanya mengenai keberadaan alam semesta. Selain itu, ontologi merupakan hal pokok yang mau tidak mau harus diketahui oleh kaum akademisi secara umum, dan khususnya mahasiswa filsafat guna mengetahui lebih dalam lagi mengenai apa itu ilmu dan pengetahuan.
Dengan pemateri atau narasumber M. Agus Wahyudi M. Ag., M. Psi., yang dimoderatori oleh salah satu mahasiswa AFI IAIN Surakarta, Abdul Wahid, diskusi dimulai pada jam 16.00 WIB. Agenda yang sebenarnya sudah direncanakan sejak lama dan hendak diadakan secara offline atau tatap muka harus gagal terlaksana lantaran adanya pandemi Covid-19. Maka, sebagai gantinya diadakanlah agenda tersebut melalui via online (daring). Dipilihlah google meet sebagai medan untuk tempat berlangsungnya seminar “Pelatihan Epistemologi”.
Mayoritas diikuti oleh mahasiswa prodi AFI di IAIN Surakarta, meskipun tidak menutup kemungkinan ada pula mahasiswa lintas prodi yang ikut join, seperti pada kesempatan ini ada satu mahasiswa Sejarah Peradaban Islam yang juga ikut gabung mengikuti jalannya diskusi.
Acara utama dibuka oleh moderator dan langsung disambung lanjutkan ke pembahasan inti oleh pemateri. Tak menunggu lama, pemateri membuka bahasan dengan mengatakan bahwasannya ontologi adalah suatu landasan awal yang harus diketahui dan dipahami, di mana di dalam ontologi pembahasan pokoknya ialah tentang hakikat suatu keberadaan atau bahasan mengenai sesuatu yang ada.
Kalau hendak diambil shortcut pemahaman mengenai bahasan maksud apa itu ontologi. Maka, pembahasan yang terdapat di dalamnya tidak jauh adalah hendak menguak pertanyaan “tentang apa”. Idiom “tentang apa” merupakan pertanyaan yang diajukan sebagai pijakan awal sekaligus yang pertama kali benar-benar harus dikuak agar nantinya dapat masuk lebih mudah ke tahap pemahaman berikutnya. Yakni mengenai bangunan apa itu epistemologi dan apa itu yang dinamakan aksiologi.
Being atau “ada” sangat identik dengan ontologi. Sebab memang sesuatu yang ada atau keberadaan itulah yang menjadi pokok bahasan dalam ontologi. Namun demikian, di dalam ontologi mengenai ada atau keberadaan itu sendiri tidaklah hanya mengacu hanya pada sesuatu ada yang tampak atau yang kasat mata saja. Akan tetapi, ada sesuatu lain yang disebut dengan “yang ada”. Di mana “yang ada” ini posisinya mendahului daripada “ada” itu sendiri. Kalau dimisalkan, “yang ada” ini merupakan ide yang mendasari dari “ada”-nya sesuatu. Seperti ide dari kursi merupakan awal adanya bentukkan kursi.
Dalam gagasan Aristoteles yang disebut dengan ide awal biasanya dinamai dengan matter, sedangkan bentukan atau hasil dari perwujudan ide awal tersebut dinamai dengan form. Keduanya tidak bisa saling terlepas, bahkan kedua hal itulah yang membangun unsur dari sesuatu yang bersifat ontologis.
Lebih jauh lagi, dijelaskan pula bahwa suatu keberadaan tidaklah melulu tentang “suatu ada” yang hanya dapat dilihat oleh indera manusia. “Suatu ada” yang tersimpan dalam pikiran juga merupakan bagian dari “suatu ada”. Atau ada “suatu ada” yang lain yang sifatnya tak kasat. Maka dari sini, dapat dipahami bahwa ontologi bukan hanya mengacu pada sesuatu yang tampak saja, melainkan bisa juga mengacu pada hal yang sifatnya metafisika (yang tak terlihat oleh indera). Sehingga ketika hendak menguak hakikat keberadaan dari sesuatu tidak bisa kiranya kalau hanya berhenti pada hal yang tampak saja. Dengan begitu haruslah dilihat pula dimensi-dimensi lain yang tersembunyi dibalik hal yang tampak. Sebab sesuatu yang tak terlihat oleh indera bukan berarti sesuatu itu tidak ada.
Pemateri juga memberikan pemilahan pemahaman dari suatu ada atau tentang keberadaan menjadi dua pembagian. Bahwa dalam keberadaan itu sendiri ada sesuatu hal yang dinamakan “kenyataan” dan “penampakan”. Untuk yang dinamakan “kenyataan” adalah sesuatu hal yang erat kaitannya dengan fakta empiris yang benar-benar dialami langsung oleh pihak subjek, sehingga itu akan cenderung lebih konkret. Sedangkan untuk yang dinamakan “penampakan”, pemateri memilah lagi menjadi dua jenis pemahaman yakni, “ketampakan” dan “kenampakan”. Untuk yang “ketampakan” ini sifatnya lebih objektif sehingga tidak banyak terdapat perbedaan makna. Akan tetapi, untuk yang “kenampakan” sifatnya cenderung lebih subjektif. Artinya, maknanya bisa beragam sesuai subjek yang melihat dan memaknainya.
Di akhir materi inti yang disampaikan oleh pemateri. Bahwa mengenai ontologi atau tentang hakikat keberadaan sesuatu di dalamnya pasti memiliki nilai esensi dan subtansinya masing-masing. Esensi sendiri merupakan nilai hakikat keberadaan yang sifatnya cenderung tak terlihat oleh indera, sifatnya lebih general dan luas. Sedangkan subtansi adalah nilai hakikat yang mensifati atau sifat nilai yang terdapat dalam esensi tersebut. Lebih mengerucut kepada satu entitas.
Kemudian, setelah bahasan inti sudah selesai disampaikan. Moderator membuka sesi tanya jawab bagi para peserta “Pelatihan Epistemologi” yang ingin memberikan pertanyaan, tanggapan maupun sanggahan. Terdapat dua pertanyaan yang diajukan kepada pemateri, di mana dua pernyataan tersebut membuat pemahaman mengenai apa itu ontologi semakin mendalam dan mendasar.
Dua pertanyaan itu yang pertama adalah tentang makna matter dan form gagasan dari Aristoteles, yang oleh pemateri dijawab dengan gamblang dan mendalam pula. Bahkan disebutkan oleh pemateri, jika manusia membutuhkan adanya ide awal sebagai sebab lahirnya sesuatu yang berbentuk dan ada. Seperti ketika manusia hendak membuat meja, harus dibutuhkan ide awal yang ada dalam pikiran tentang seperti apa nantinya bentukkan meja itu dibuat. Tetapi, bagi Tuhan sama sekali tidaklah dibutuhkan ide untuk membuat atau menciptakan atau meng-“ada”-kan sesuatu. Maka, bisa dikatakan “Kun”-Nya Tuhan sama sekali terbebas dari konsep atau ide awal atas terciptanya sesuatu. Tuhan Maha Sempurna dalam hal ini, sehingga Ia tak memerlukan konsep dan ide.
Sedang pertanyaan yang kedua adalah tentang hakikat dari ontologi sendiri itu sebenarnya apa. Yang kemudian dijawab oleh pemateri bahwa ontologi itu sendiri adalah juga bermakna hakikat di mana di dalamnya memuat nilai esensi dan subtansi. Kedua istilah tersebut adalah prinsip dasar nilai utama dari apa yang disebut dengan hakikat.
Di akhir jawaban, sebelum acara disimpulkan oleh moderator dan ditutup. Ada closing dari pemateri yang benar-benar harus digarisbawahi dan harus diletakkan dalam kesadaran utama manusia sebagai makhluk yang berakal dan yang memiliki gelar ahsani taqwim. Yakni, bahwasannya hakikat utama hidup manusia atau manusia itu sendiri diciptakan tidak lain adalah untuk beribadah, menyembah, atau mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Maka, hal lain selain hal tersebut sama sekali bukanlah suatu yang bisa dikatakan hakikat hidupnya manusia atau hakikat dari manusia itu sendiri. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *