Fundamentalis Itu Bernama Ibnu Taimiyah

Oleh: Abdul Wahid

Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/405112928984090906/

Ketika kita mendengar atau menemui kata fundamentalis atau fundamentalisme, kita akan teringat pada kekolotan dan kekerasan padahal kata fundamental sendiri memiliki arti yang bersifat dasar atau pokok (mendasar). Kemungkinan peyorasi ini muncul akibat kekerasan serta ekstremisme yang terjadi atas nama agama yang salah kaprah ditafsirkan.

Tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama ini sering terjadi. Agama yang seharusnya Rahmatan Lil A’lamiin menjadi ternodai. Agama yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu “A” yang berarti tidak dan “Gama” yang berarti kacau atau bisa dikatakan tidak kacau, atau dalam bahasa Arab Ad – Din artinya jalan dan Islam artinya selamat. Dapat kita tarik makna, bahwa agama Islam adalah jalan yang menuju pada keselamatan.

Agama Islam memiliki sumber pokok yaitu Al-Qur’an dan Hadits, yang kebenarannya tidak dibatasi ruang dan waktu. Guna membawa keselamatan dan juga punya tujuan nilai untuk memanusiakan manusia. Jadi, peyorarasi fundamental yang tertuju pada kekerasan dan ekstremisme itu patut kita renungkan kembali.

Mengenal Lebih Dekat Ibn Taimiyah

Taqiyuddin Ahmad bin Abdil Halim bin Taimiyah atau yang kita akrabi dengan nama Ibn Taimiyah lahir di Harran pada 10 Rabiul Awal tahun 661. Ketika umurnya enam tahun ia pindah ke Damaskus akibat serangan tentara Tartar ke Baghdad. Di Damaskus yang penuh dengan ulama kenamaan dan pusat ilmu pengetahuan ia sangat maju dengan pesat dan di usia muda ia sudah hafal Al-Qur’an.

Ibn Taimiyah mempunyai pengetahuan yang cukup luas mengenai Ilmu Rijalil Hadits (Para perawi hadits), Jaur Wa ta’dil dan tabaqatnya. Ketika ayahnya wafat, dalam kesedihan ia menekuni belajarnya guna meneruskan cita-cita ayahnya untuk tetap menjunjung tinggi agama Islam. Kesedihannya itu menjadi cambuk baginya untuk tekun mengajar dan menulis serta memberi fatwa-fatwa.

Ia sering mengkritik para ulama korup yang berselimut pada kekuasaan. Ia sering berdebat dengan para ulama pada masanya baik secara individu maupun secara debat formal (forum). Sehingga namanya menjadi terkenal.

Musuh bebuyutan Ibn Taimiyah adalah bid’ah dan khurafat. Ia tidak segan untuk melawan perbuatan tadi. Pemikiran-pemikirannya yang kritis yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits menggegerkan ulama-ulama sejamannya. Ia dengan tegas menegakan Al-Qur’an dan Hadits.

Karena ketegasan dan kekritisannya, ia dibenci oleh orang-orang yang memiliki perbedaan dengan pemikirannya. Oleh karena itu, ia sering keluar masuk penjara. Namun, kegigihannya dalam menegakan Al-Qur’an dan Hadits tidak luntur walaupun kekritisannya sering menjebloskan dirinya ke penjara.

Menurut Ibn Qayyim sebagaimana yang dinukil oleh Ahmadie Thaha dalam bukunya bahwa Ibn Taimiyah pernah berkata: “Seseungguhnya di dunia ada surga yang barang siapa belum pernah memasukinya dia tidak akan masuk surga akhirat. Apa yang diperbuat musuh-musuhku terhadap diriku? Aku surgaku dan kebunku ada di dadaku. Dimana aku berada disana aku mendapatkannya, sebab ia tidak pernah berpisah denganku. Aku tahananku adalah khalwat, membunuhku matiku adalah syahid, dan pemencilanku dari Negeriku adalah wisata” (Ibnu Taimiyah Hidup dan Pikiran-Pikirannya, 1982). Begitulah Ibn Taimiyah dengan segala kekuatannya untuk menegakan keyakinannya.

Semuanya itu dilakukan hanya untuk menegakan agama yang sudah ternodai oleh bid’ah dan khurafat. Pendasaran dirinya pada Al-Qur’an dan hadits sebagai pegangan untuk melawan musuh-musuhnya.

Di dalam penjara, kekritisannya tidak mandek. Ia tetap membaca dan menulis. Bahkan karya sanggahan-sanggahan terhadap lawannya itu terlahir dari jeruji besi. Dalam hal ini kreatifitas dan kekritisannya tidak diragukan. Salah satunya yaitu karyanya yang berjudul Ruddun ‘Alabnil Akhnai Al Maliki yang berisi bantahannya terhadap Akhnai.

Oleh karena kekritisannya itu, hingga akhirnya hukumannya dalam penjara diperketat dengan merampas buku bacaan, kertas, tinta dan lainnya, bahkan dalam Wafayatul Wafayat sebagaimana yang dikutip Ahmadie Thaha keteguhannya dalam berkarya masih tetap ada. Ia menggunakan arang untuk menulis (Ibnu Taimiyah  Hidup dan Pikiran-Pikirannya, 1982) oleh karena perketatan itu hingga akhirnya ia benar-benar terkekang.

Pada tanggal 20 Dzulqaidah Tahun 728 Ibn Taimiyah meninggal dunia dalam penjara. Kekritisan dan kreatifitasnya tidak pernah mati. Ia meninggalkan banyak karya yang akan mempengaruhi beberapa pemikir setelahnya.

Pemikiran Fundamental Ibn Taimiyah

Ibnu Taimiyah mengembalikan segalanya pada Al-Qur’an dan Hadits, karena menurutnya hanya Al-Qur’an dan Hadits yang mutlak menjadi sumber dari segala sumber. Walaupun ia mengembalikan masalah kepada Al-Qur’an dan Hadits, ia tidak mengabaikan akal sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Namun, menurutnya akal memiliki batas. Maka setiap dari manusia harus tahu batas-batas dari akal itu.

Baginya akal tidak boleh berdiri sendiri dan harus berdiri di belakang nas-nas agama, dengan ini ia menganggap bahwa akal tidak bisa menakwilkan Al-Qur’an tetapi baginya pintu ijtihad itu tetap ada karena manusia diberikan fitrah yang harus bertafakur dan tadabur.

Ibnu Taimiyah tidak pernah mengikuti pendapat-pendapat secara buta. Baginya mengikuti pendapat dengan tidak ada dasar sehingga sampai pada fanatisme buta itu tidak menjalankan fitrah manusia dengan baik.

Dengan dasar Al-Qur’an dan Hadits ia mengkritik para Mutakallimin dan filsuf terutama pada kaum Mu’tazilah yang terlalu mengagungkan akal. Menurutnya hal ini akan menimbulkan kekerasan.

Dalam masalah Aqidah Ibnu Taimaiyah berada di tengah-tengah antara  Tha’thi (Peniadaan sifat Allah) dan Tasybih (Penyerupaan dengan makhluk-Nya). Berada di tengah-tengah ia menamakan Aqidahnya ini dengan Aqidah Wasathiyyah.

Ibnu Taimiyah bisa disebut sebagai pemurni dan pembaharu. Bahkan, ajarannya dianut oleh Muhammad Bin Abdil Wahab sebagai pendiri Wahabi. Tetapi menurut Nurcholish Madjid sebagaimana yang dikutip oleh Budhy Munawar Rachman, yaitu kritikannya yang tajam terhadap para Mutakallimin dan filsuf itu menciptakan logika baru dan seperti yang dikatakan Joseph Schact, bahwa sumbangsih pemikirannya adalah salah satu puncak masa kecemerlangan madzhab Hambali. (Haul Nurcholish Madjid: Menelaaah Disertasi Caknur Tentang Ibnu Taimiyah, 2020).

Pemikiran-pemikirannya mempengaruhi tokoh-tokoh setelahnya seperti Muhammad Bin Abdil Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha. Di Indonesia sendiri ada kaum padri, Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh lainnya.

Pemikirannya yang menuju kepada ranah keontentikan membuat namanya dikenal sebagai Fundamentalis. Kritikan-kritikannya terhadap pemikiran dari ulama masanya membuat dia beberapa kali masuk penjara namun dengan sikap yang tegas ia tetap mempertahankan keyakinan itu.

Kegigihannya yang sangat kuat untuk memerangi Bid’ah dan Khurafat untuk kembali pada dasar agama, yaitu Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama kebenaran serta menolak taqlid buta yang mengarah pada kejumudan dan fanatisme menandakan dirinya tidak menutup pintu ijtihad. Hingga akhirnya dikenallah sosok pemurni, pembaharu, dan fudamentalis itu bernama Ibnu Taimiyah. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *