Oleh: Abdul Wahid
Sekarang menimbang fakta seakan menimbang sesuatu yang nihil. Pun jika mencarinya kita dituntut untuk menyelam ke dasar lautan informasi. Informasi yang dilahap dengan emosi melahirkan kejumudan dan kekerdilan. Informasi menenggalamkan manusia. Siapa pun yang tidak mau belajar berenang akan mati (kehendaknya) olehnya diarahkan untuk kepentingan – kepentingan terselubung.
Saat ini, informasi datang dan pergi silih berganti, benar dan salah tergantung emosi, fanatisme mengarahkan kebenaran golongan, menyalahkan liyan. Benar dan salah tak mempunyai demarkasi yang jelas. Abu-abu. Hanya emosi golongan dan liyan yang ditonjolkan. Hanya aku dan bukan aku, kita dan mereka.
Fitnah, ujaran kebencian, hoax, kebohongan, hasutan berseliweran di kehidupan kita. Lewat teknologi dan media yang sekarang mudah diakses membuatnya mudah dikonsumsi secara mentah. Kementahan itu yang mengakibatkan racun (informasi) diserap otak membuka pintu emosi (nafsu) dan menggerak tindak.
Kita ingat di tahun 2016 ketika Donald Trump memenangi pemilihan presiden. Ia membuat disinformasi yang masif dan terus menerus diulang. Teknik agitasi ini terbukti ampuh. Di tahun yang sama pula kata Post Truth dalam kamus Oxford menjadi kata yang paling populer.
Kata Post Truth pertama kali dicetuskan oleh Steve Tesich pada tahun 1992. Kemudian Ralph keyes dengan komedian Stephen Colber pada 2002 kurang lebih sama mencetuskan kata truthines yang mengacu pada “sesuatu yang dianggap benar, padahal tidak sama sekali”.
Kamus Oxford mendefinisikan kata Post Truth dengan “kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini individu atau masyarakat ketimbang emosi dan keyakinan”. Tak pelak hoax yang tak lain merupakan disinformasi menurut Haryatmoko SJ sebagai anak kandung dari Post Truth. (Irwan Julianto, Kompas, 28 Juni 2021).
Tidak salah juga kita menamai jaman yang “banjir” informasi (dan disinformasi) ini dengan jaman Post Truth. Jaman dimana informasi yang salah atau disinformasi yang terus menerus diulang bisa menjadi benar mempengaruhi bawah sadar. Kebenaran pada jaman yang disebut Post Truth ini terlampaui atau bisa disebut pasca-kebenaran sehingga yang ada hanya ngapusi semata.
Disinformasi yang deras mengalir dan dengan mudah didapat melalui tekonologi dan media ini menjadikan kita terombang-ambing. Orang – orang yang terbawa arus akan mudah sentimen dan menambah disinformasi yang lain sehingga menambah kekeruhan.
Disinformasi dan Pandemi
Saat ini dunia sedang dilanda pandemi akibat covid – 19. Informasi mengalir deras. Di Indonesia sendiri masih banyak yang menyangkal virus ini. Akibatnya hingga saat ini klaster penularan di Indonesia terbilang masih cukup banyak. Parahnya banyak disinformasi yang ditelan oleh kita mengakibatkan penanganannya sulit.
Kita dibuat bingung dan panik. Pandemi yang di barengi disinformasi mengakibatkan fakta akan kebenaran kabur, keruh dan terkubur. Kita dibuat jeri, percaya dan tidak percaya akan covid – 19 ini bercampur baur meninggalkan keruetan.
Saat ini disinformasi yang masif meriap dan dengan frekuaensi yang tinggi menyebabkan bahaya pandemi terkalahkan oleh bahaya disinformasi. Selain harus menghadapi ancaman pandemi, kita dihadapkan dengan ancaman kejiwaan kita yang mulai tidak tenang dan kedegilan tersebab disinformasi.
Ketika vaksin sudah ada dan vaksinasi mulai digaungkan, kita masih dibingungkan dengan keamanannya. Jean Couteau dalam Kompas 27 Juni dan 18 Juli 2021 mendedarkan bagaimana pentingnya vaksinasi. Tulisannya yang berjudul “Tangkislah Serangan Covid” dan “Dapatkah Vaksinasi Seperti Dua Ratus Tahun Lalu” ini secara persuasif mengajak kita untuk melakukan vaksinasi.
Pada tulisannya yang pertama, ia secara metafor menggambarkan pentingnya vaksin. Dan di tulisannya yang kedua, ia membandingkan wabah cacar yang terjadi pada dua ratus tahun lalu dengan pandemi yang sekarang. Pada tulisannya yang kedua ini, Jean Couteau membawa keluh akibat masih banyak orang indonesia yang takut vaksin.
Di era pandemi ini, informasi yang kredibel sangat dibutuhkan. Tetapi laiknya mata uang yang memiliki sisi baik dan buruk, informasi yang deras akan membaurkan fakta yang benar dan salah. Oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab dengan mudah menyebarkan hoax (disinformasi) secara mudah. Saat ini kita dihadapkan dengan Pandemi dan disinformasi.
Menyaring Informasi Dengan Logika
Saat ini kita mengahdapi lawan pandemi dan disinformasi. Informasi yang semakin deras ini mengakibatkan kita jadi linglung dan bingung. Adanya media elektronik yang semakin masif menjadikan hoax atau kidzib (disinformasi) mudah meriap dan terdisrupsinya informasi yang kredibel.
Dalam Islam pun disinformasi atau kidzib merupakan perbuatan yang nista. Kidzib merupakan lawan dari Siddiq yang merupakan sifat wajib yang dimiliki Rasulullah. Maka dari itu kita sebagai umat islam mengharuskan mempercayai yang haq (benar) secara mutlak.
Ibnu Sina mengatakan bahwa kebenaran hakiki itu harus dibuktikan pada sesuatu wujud (yang ada) melalui kebenaran wahyu dan akal (logika). Maka kita dituntut untuk berhati – hati terhadap informasi yang kita dapat. Tidak secara mentah ditelan.
Dengan logika kita dituntut untuk menyaring informasi yang kita dapat. Berpikir secara jernih dan tidak tergesa-gesa membuat kita lebih bisa untuk membedakan informasi yang benar dan salah.
Peran emosi dalam menanggapi sebuah informasi sebaiknya tidak dijadikan sebagai titik pijak. Karena disinformasi memainkan emosi sehingga menciptakan ilusi. Ilusi ini akan menghalangi logika bekerja dengan baik. Sehingga kecermatan kita untuk memahami informasi jadi tidak keruan.
Orang – orang yang tidak menggunakan logikanya saat mendapat informasi akan dibawa pada waham dan delusi yang tidak berdasar. Membuat pandemi dan disinformasi semakin ruet tertangani. Tenggalam dalam banjir informasi dan mengambang hanyut terbawa olehnya.
Logika harus menjadi penyelamat kita menghadapi pandemi dan disinformasi ini. Kita harus bisa melampaui Post Truth atau yang menurut Haryatmoko SJ disebut dengan “Post “-Post Truth atau “Pasca” – Pasca kebenaran. Hal ini tidak menjadi utopis belaka jika kita bisa menggunakan logika untuk menyaring (dis)informasi yang kita dapat.
Orang – orang yang mengesampingkan logika dan menggunakan emosi dalam menyikapi informasi akan mudah terhasut dan terpedaya dengan ilusi dan delusi. Sehingga informasi–yang belum tentu benarnya–ditelan mentah dan dipercaya saja. []