Oleh: Fahmillya Kartika Kusuma Ningrum
Manusia hidup di dunia dibekali oleh akal dan pikiran. Hidup di zaman yang serba canggih, di zaman yang serba digital seperti sekarang ini, tentunya memudahkan manusia untuk melakukan segala macam bentuk aktivitas kesehariannya. Misalnya aktivitas kita sebagai mahasiswa, guru, pekerja kantoran, dan lain sebagainya. Ketika membahas objek digital, maka tidak akan jauh bakal mengutamakan potensi fasilitas teknologi yang kini kian berkembang seiring zaman berjalan. Tentu, semakin berkembangnya zaman, pasti juga akan diiringi dengan adanya pembaharuan yang mungkin akan lain dari tradisi yang sudah ada sebelumnya.
Misalnya, adanya handphone yang merupakan salah satu produk sekaligus bukti dari kecanggihan teknologi. Membuat handphone kini bukan lagi menjadi barang yang asing bagi kehidupan manusia. Bahkan, dapat kita lihat bahwa sekarang ini banyak anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar saja sudah dengan mudah mampu mengoperasikan handphone. Meskipun pada segi positifnya, peran handphone juga memudahkan umpamanya sepasang kekasih yang sedang LDR-an untuk tetap dapat menjalin komunikasi, khusus bagi anak-anak muda milenial. Serta berbagai macam kemudahan lainnya yang ditawarkan oleh adanya teknologi berupa handphone tersebut.
Ketika beralih ke barang canggih lain misalnya, sebuah komputer pun juga berperan penting salah satunya memudahkan seorang untuk tetap produktif dalam menggeluti pekerjaannya. Terutama pada bidang pekerjaan yang itu memang memerlukan adanya sebuah komputer. Misalnya para pegawai dan pekerja kantoran, dan seterusnya, termasuk dalam dunia tulis-menulis.
Namun, dilihat dari sudut negatifnya, bagaimana dengan orang yang justru terlampau sibuk dengan handphone sehingga malah lupa dengan kewajibannya, alih-alih dengan keluarganya. Misalnya ketika sedang kumpul bersama keluarga, kemudia ada salah satu dari mereka yang terlalu sibuk dan lebih fokus dengan handphonenya, entah sibuk main game, atau asyik chat-an dengan teman yang mungkin hanya sekadar basa-basi, yang malah menyebakan diri dan keluarganya kehilangan moment kebersamaan dalam berkeluarga.
Contoh lain, dalam dunia pendidikan umpamanya, alih-alih seorang siswa yang mendapat tugas dari gurunya sebagai sarana belajar-mengajar, beberapa dari mereka malah cenderung mengandalkan internet untuk mengakses jawaban dari soal yang diberikan. Sehingga bisa memantik ghirah dari para siswa untuk ikut berjibaku dalam belajar, malah berdampak kebalikannya. Tentu hal itu tidak akan menjadikan siswa tersebut haus akan pendidikan dan bisa dirasa kurang efektif, karena siswa terlalu dimanjakan dengan internet sehingga membuatnya malas untuk membuka buku dan enggan mendengarkan penjelasan dari guru. Apalagi kebiasaan semacam ini ditakutkan malah akan menjadikan efek ketergantungan akut terhadap hal-hal instan, karena hanya didulang terus-menerus oleh jenis-jenis sajian teknologi, sehingga membuatnya sulit untuk menemukan jati dirinya.
Pada akhirnya, perkembangan teknologi memberikan dampak positif dan negatif bagi semua orang. Poinnya tergantung pada kebijakan mereka dalam menggunakan teknologi tersebut. Namun pada kenyataannya, malah banyak di antara mereka yang salah dalam mengoptimalkannya. Ketika kita salah membangun mindset berpikir dan menempatkan orientasi, tentulah itu akan berdampak pada kebiasaan dan apa yang nanti akan kita dapatkan. Menurut Socrates, misalnya, seorang filsuf pada zaman Yunani kuno, ketika seseorang berpikir tentang suatu hal demi hal lainnya. Apa yang sungguh-sungguh menjadi pemikirannya adalah tujuan yang ada dalam pikirannya. Maka, sebenarnya apa yang kita pikirkan itu bukanlah hanya sekadar berupa sarana, tetapi adalah tujuan itu sendiri (David Melling: Jejak Langkah Pemikiran Plato: 35).
Jadi, yang menjadi pokok permasalahan seseorang berkembang dan bisa dinilai bijak itu justru lebih dilihat dari kepribadiannya, bukan pada alat yang menjadi objek acuannya. Bukanlah kemajuan itu adalah kita punya banyak uang dan harta berlimpah, kemajuan adalah tentang bertambah dan berkembangnya pribadi kita sebagai seorang insan. Sehingga, dalam hal ini kepribadianlah yang utamanya harus diubah adalah nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Maka, mnusia harus berguru dan mau untuk mencari jati dirinya, sehingga ia menjadi sosok insan yang maju dan bermartabat.
Hal demikian tentu bisa didapatkan dari didikan orang tua maupun guru, termasuk di segala tempat di mana dia bisa menuntut dan menambah ilmu. Sedangkan objek acuannya untuk dibenahi ialah keberadaan teknologi yang banyak disalahgunakan, atau tidak digunakan sebagaimana mestinya oleh beberapa orang.
Oleh karenanya, manusia haruslah lebih mengedepankan tujuan dari pendidikan dalam pembentukan kepribadian, agar senantiasa dapat berlaku dan bersikap bijak, serta dapat mencapai puncak kreativitasnya. Selain itu, selebihnya berupaya pula untuk menjadi pribadi yang lebih unggul dan berpendirian teguh agar tidak mudah terbawa arus zaman. Teknologi memang sangatlah membantu manusia dalam menjalankan berbagai macam persoalan dalam bahtera kehidupan, namun haruslah digunakan dengan cara yang bijak.
Dalam penerapannya, di tengah-tengah gelombang dan banjir informasi seperti yang terjadi sekarang ini, ketika mendapat ilmu maupun informasi dari internet misalnya, hendaknya tidak menelan itu secara mentah-mentah, tetapi harus dengan tetap memenuhi kaidah-kaidah yang benar. Kita tetap harus bijak dan cerdas dalam menerima dan mengolahnya. Perlunya menyaring dan mempelajari lebih jauh narasi-narasi berita maupun informasi bertujuan agar kita tidak mengalami bias pemahaman dan menjadi korban hoaks. Pemahaman yang setengah-setengah tidak akan bertahan lama di pikiran kita, bahkan akan mempersulit kita untuk mendapatkan pengetahuan yang membuat kita benar-benar tahu. Ibarat pisau, ketajamannya pun perlu untuk senantiasa diasah agar lebih tajam. Sama halnya dengan otak atau pikiran kita.
Kepribadian manusia yang unggul melekat pada kebajikan, dan keberaniannya mengambilan sikap. Hal ini telah disampaikan oleh filsuf Plato, bahwa kebajikan merupakan keseluruhan, sedangkan keberanian merupakan salah satu bagian dari kebajikan (David Melling: Jejak langkah Pemikiran Plato: 38). Definisi dari kebajikan sendiri adalah pengetahuan dan keahlian yang dilakukan dengan sangat baik, sedangkan definisi daripada keberanian adalah suatu keteguhan hati yang bijaksana.
Keberanian selalu tegak lurus dengan kebajikan. Keberanian adalah cerminan dari sikap yang bijaksana. Keberanian bukan saja merupakan suatu bentuk pengetahuan tentang hal-hal yang ditakuti, namun juga bersedia tetap berusaha untuk meyakinkan diri agar tetap bangkit melawan ketakutan terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Meskipun pengetahuan itu bisa tergolongkan dalam hal yang baik maupun buruk, tetapi orang yang berani akan dengan bijaknya melakukan seluruh kebajikan, dan berusaha meninggalkan hal yang cenderung buruk dan merusak.
Oleh sebab itu, pengetahuan yang didapat secara benar dapat mendorong terbentuknya kepribadian yang tidaknya hanya baik, tetapi juga unggul. Sehingga ia tidak hanya bergantung pada pengetahuan yang didapat dari internet, tetapi juga berupaya mengoptimalkan geraknya dengan terjun langsung ke lapangan dan berusaha dengan maksimal untuk mencapai pada titik tujuannya. Hal inilah yang dimaksud oleh Plato sebagai jiwa kepribadian.