Oleh: Fahmillya Kartika Kusuma Ningrum
Tokoh filsafat Islam, Al-kindi pada mulanya sangat susah memperkenalkan tradisi filsafat Yunani ke dalam dunia Islam, karena filosof Yunani bukanlah orang yang memeluk agama Islam. Dalam peradaban manusia, jarang ditemukan suatu kebudayaan asing yang dapat diterima oleh kebudayaan lain, yang kemudian dijadikan landasan pemahaman filosofis. Beberapa orang mengkritik barat tetapi sebenarnya mereka mengikuti gaya barat, cara berpikirnya pun bermodel barat, dan paradigma yang dipakai juga dari barat.
Pada dasarnya, tidak mencela orang yang telah memberi manfaat besar adalah suatu kewajiban. Meskipun para filsuf Yunani tidak berhasil mencapai sebagian kebenaran, mereka adalah orang yang memberikan buah pemikiran bagi manusia setelahnya. Sehingga menjadi jalan dan alat untuk mengetahui banyak hal yang belum dicapai. Masuknya Filsafat Yunani dalam Islam beserta dengan pemikirannya telah membangkitkan umat Islam untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam.
Beberapa ulama menyatakan bahaya filsafat Yunani, filsafat ini terbagi menjadi dua yakni filsafat dunia, seperti sosiologi, fisika, kimia, yang menjadi bahan pemikiran karena objeknya dapat dilihat maka ilmu ini pun diperbolehkan. Namun yang menjadi masalah adalah teologi, yang dianggap berbahaya karena dikhawatirkan jika pemikiran filsafat Yunani ini dianggap benar dan pemikiran tersebut dijadikan pegangan untuk memahami Al-Qur’an dan Sunnah.
Namun di samping itu, pandangan yang lebih moderat dikemukakan oleh Imam Ghozali, beliau mengatakan ilmu filsafat perlu untuk dipelajari, akan tetapi orang yang mempelajari ilmu filsafat haruslah orang yang memiliki kecerdasan yang memadai dan telah memiliki pemahaman yang cukup mengenai Al-Qur’an dan sunah nabi Muhammad SAW. (Ari Satria, 2019:08)
Periode filsafat Yunani adalah sebuah periode yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia, di mana pada mulanya manusia berpikir mengandalkan mitos berubah menjadi logos, yaitu melandaskan pemikiran mereka pada logika yang rasional untuk menjelaskan fenomena alam yang terjadi pada masa itu. Perubahan ini mejadikan pengenalan bagi filsafat itu sendiri, karena pada dasarnya filsafat adalah ‘cinta akan kebenaran’. Jadi, manusia mulai menggunakan daya berpikir mereka untuk membedakan mana yang benar-benar asli dan mana yang hanya tipu daya.
Pengalihan Filsafat Yunani ke dunia Islam pada dasarnya terdapat upaya rekonsiliasi, bahkan ada persentuhan ekstrim antara pandangan filsafat Yunani seperti filsafat Plato dan Aristoteles, dengan pandangan Islam sering terdapat benturan. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa Plato dan Aristoteles telah memberikan pengaruh besar pada mazhab-mazhab Islam, khususnya mazhab eklektisisme. Dalam hal ini, filosof Muslim, yakni Al-Farabi memiliki sikap yang jelas karena ia percaya pada kesatuan filsafat dan bahwa tokoh-tokoh filsafat harus sepakat selagi tujuannya adalah kebenaran.
Lahirnya filsafat Islam tidak lain disebabkan karena aktivitas penerjemahan buku-buku filsafat Yunani sejak masa klasik islam. Menurut C.A. Qadir, proses penerjemahan dan penafsiran buku-buku Yunani di negeri-negeri Arab dimulai jauh sebelum lahirnya agama Islam dan penaklukan Timur oleh bangsa Arab pada tahun 641 M. Jauh sebelum umat Islam dapat menaklukkan daerah-daerah di Timur dekat, pada saat itu Suriah merupakan tempat bertemunya Romawi dan Persia. Atas dasar itu, maka bangsa Suriah disebut memiliki peranan penting dalam penyebaran kebudayaan Yunani ke Timur dan Barat. Di kalangan umat Kristen Suriah, ilmu pengetahuan Yunani dipelajari dan disebarluaskan melalui sekolah-sekolah. (Basari, 2002).
Kegiatan penerjemahan ini disertai pula dengan uraian dan penjelasan seperlunya. Para cendikiawan ketika itu berusaha memasukkan Filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam, terutama akidah untuk melihat perlunya penyesuaian antara wahyu dan akal.
Tentu saja, aktifitas para filosof di atas bersentuhan dengan penafsiran Al-Qur’an. Bahkan, kecenderungan menafsirkan Al-Qur’an secara filosofis besar sekali. Al-Kindi misalnya, yang dikenal sebagai Bapak Filosof Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahami Al-Qur’an dengan benar, isinya harus ditafsirkan secara rasional, bahkan filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam di balik terbit-tenggelamnya matahari, berkembang-menyusutnya bulan, pasang-surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan ini merupakan seruan untuk berfilsafat.
Di dalam sejarah, ditunjukkan bahwa lahirnya filsafat Islam tidak dapat dipisahkan dari rantai transmisi filsafat Yunani. Yang meninggalkan beberapa kesan pada sebagian besar sarjana barat bahwa filsafat Islam hanyalah filsafat Yunani yang menyalurkan unsur penting tertentu warisan zaman kuno barat abad pertengahan.
Filsafat Yunani sangat berpengaruh dalam lahirnya filsafat Islam, perlu kita ketahui bahwa filsafat Islam ini terbagi menjadi 2, yaitu corak filsafat yang benar-benar mengembangkan filsafat Yunani dengan sedikit perubahan pada pemikirannya, dengan tokoh terkenalnya al-Farabi dan Ibnu Sina. Yang kedua yaitu corak filsafat yang mengarah pada pembahasan kalam, yang berhubungan dengan metafisika, dalam hal ini filsafat Islam yang termasuk di dalamnya adalah Al-Mu’tazilah, Ajarniyah, dan Al-Asyairah.
Ibn Rusyd menyatakan bahwa tujuan dasar filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini filsafat sesuai dengan agama, sebab tujuan agama pun tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis. (Dar al-Mairrif, 1972)
Itulah sebabnya, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun mempunyai dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama hellenisme atau dunia pemikiran Yunani. Terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan filsafat Yunani.
Masuknya filsafat Yunani dalam Islam serta pemikirannya membangkitkan umat Islam untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, serta menumbuhkan gairah umat untuk mempelajari ilmu pengetahuan alam dan filsafat. Banyak pemikiran filsafat Islam terpengaruh filsafat Yunani, meskipun demikian bahwa berguru bukan berarti mengekor atau mengutip. Jadi, alur telaahnya ialah amati, tiru, dan modifikasi. Filsafat Islam haruslah sesuai dengan prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.
Sedikit banyak filsafat Yunani sudah mengajari banyak hal. Orang yang anti filsafat berarti anti kebenaran, dan jika anti kebenaran maka dia kafir. Pada hakikatnya, dalam keadaan apapun orang tidak dapat menolak filsafat. Jika menerima filsafat, ia juga harus berfilsafat untuk membuat argumen tentang kebenaran diri. Argumen tersebut termasuk dalam filsafat, yakni ilmu tentang hakikat dari sesuatu. Kaitannya dengan masa sekarang, di mana kebanyakan orang lebih senang melakukan hal-hal yang bermanfaat dan tujuannya lebih logis, mereka lebih senang berpikir secara logis, dan bertindak secara logis. Maka filsafat Yunani menjadi tolak ukur yang penting untuk dipelajari, utamanya bagi orang-orang yang sudah memimpin dalam bidang agama. Jadi, filsafat Yunani tidak dapat dipisahkan dari filsafat Islam.
Pengaruh terbesar yang diterima umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, menurut Ahmad Amin, adalah dari Yunani. Karena kontak umat Islam dengan peradaban Yunani bersamaan waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam. Logika Yunani mempunyai pengaruh besar pada alam pemikiran Islam saat itu. []