Oleh: Kurnia Dewi Nabila
Di era sekarang, penelitian mengenai sejarah kampung mulai jarang dikaji, yang paling banyak diamati justru studi mengenai sejarah perkotaan. Jika kita berkenan untuk bernostalgia dengan arsip tua dan Babad Tanah Jawa, maka kita akan menemukan “Kampung Kauman” yang sangat tersohor di era Kerajaan Mataram Islam. Kampung Kauman merupakan tiang penguat penyebaran agama Islam saat Kerajaan Demak berdiri.
Ketika bersepeda mengelilingi Pura Mangkunegaran, maka kita akan menjumpai papan nama “Kauman” yang terpasang tepat di pinggir jalan sebelah utara dan barat belakang Pura Mangkunegaran. Sayangnya, semakin berjalannya waktu Kauman di Mangkunegaran mulai dilupakan dalam ingatan masyarakat Surakarta. Wong Solo lebih akrab dengan Kauman yang terletak di lingkungan Kasunanan. Mereka tidak menyadari bahwa Solo memiliki kampung Kauman yang melegenda milik Mangkunegaran.
Pertanyaan yang memicu rasa ingin tahu pun tiba, Mengapa Kauman di Mangkunegaran bisa hilang dan dilupakan ?
Kampung Religi, begitulah julukan yang tepat untuk kampung Kauman Mangkunegaran yang terletak di kawasan Pasar Legi. Secara etimologi Kauman terdiri dari dua kata “Kaum” dan “Iman”. Seperti namanya, Kauman sangat khas dengan Ulama, sekelompok orang yang paham ilmu agama, berwibawa, mengayomi dan membina umat, serta berjasa dalam proses penyebaran agama Islam. Alasan utama didirikannya Kampung Kauman adalah agar menjadi perantara untuk memberikan dakwah keislaman.
Kampung Kauman dibangun atas prakarsa KGPAA Mangkunegara (MN) I yang mendapat impresi dari dinasti Mataram Islam Jawa, selain itu MN I merupakan Pemimpin Mangkunegaran yang sangat konsen terhadap syiar Islam. Kampung Kauman tempo dulu dikenal dengan semangat toleransinya yang tinggi dan juga sebagai Museum hidup Islam Jawa.
Berbicara mengenai sejarah Kampung Kauman Mangkunegaran maka telinga kita tidak asing mendengar nama “Masjid Nagara”. Masjid bersejarah yang dibangun oleh Mangkunegara I sebagai identitas kampung religi tersebut. Dibangun mewah pada zamannya komplit beserta rumah pejabat ulama juga mengangkat seorang ulama perempuan yang tak lain, adalah cucunya yang bernama Raden Ayu Penghulu Iman. Ia sukses berkolaborasi dengan ulama se-Solo Raya. Kauman kala itu sangat masyhur dan sangat kental dengan aktivitas keagamaannya.
Akan tetapi, di Era Mangkunegara IV terjadi pemindahan Masjid Nagara yang awalnya di Pasar Legi dipindah di sebelah barat Pura Mangkunegaran dengan dalih ingin memperluas sektor perekonomian Mangkunegaran kala itu. Dari Masjid Nagara, kini beralih nama menjadi “Masjid Al Wustho” yang diberikan oleh K.H Imam Rosyidi. Nama Al Wustho berarti tengahan, tengah dalam arti posisinya, bangunan dan luas tanahnya lebih tengah dibandingkan masjid Agung dan masjid Kepatihan. Masjid ini tidak sebesar masjid agung, pun tidak sekecil masjid Kepatihan.
Perpindahan tersebut berdampak negatif, kondisi di kampung Kauman mulai berubah drastis karena masjid kauman lama yang menjadi pusat keagamaan kampung tersebut dipindahkan. Kehidupan rohani masyarakat Kauman pun mulai memudar, aktivitas keagamaan mulai menurun. Dampak lain yakni mengacu pada menurunnya peran ulama Kauman serta tidak adanya regenerasi ulama untuk kedepannya. Lama kelamaan, kampung Kauman makin kehilangan ciri khasnya sebagai kampung religi.
Faktor lain penyebab hilangnya Kauman adalah tidak terukirnya gelar Khalifatullah Sayyidin Panatagama dalam bahu KGPAA Mangkunegara I, sebagaimana Paku Buwono. Di sisi lain, para penguasa mangkunegaran justru menganggap enteng secara moral terhadap syiar Islam tanah Jawa. Sangat berbeda jika disejajarkan dengan Paku Buwono yang memiliki gelar Panatagama, sehingga dirinya dituntut menjaga aktivitas keagamaan dan kemajuan prasarana ibadah di Kauman.
Hijrah dari kepentingan Kkagamaan ke bidang bisnis lebih menguntungkan Pura Mangkunegaran. Pasalnya, mereka saat itu dilanda krisis berlarut-larut berdampak pada pemerintahan para penerusnya. Pembangunan pabrik gula di kawasan Colomadu-Tasikmadu sebagai solusi perekonomian mangkunegaran hingga meraih gelar “Raja Gula” terkaya di Jawa, dengan nominasi kerajaan yang pertama memiliki kesuksesan di bidang wirausaha. Alhasil, tujuan duniawi telah sukses diraihnya.
Dari refleksi ini, kita bisa menilai bagaimana tingkat kematangan beragama dalam diri Mangkunegara IV. Terlihat betapa semangatnya mengejar duniawi hingga melalaikan tujuan akhiratnya. Lebih herannya, penurunan warisan dalam bidang ekonomi lebih diprioritaskan MN IV daripada mewasiatkan ilmu agama melalui perantara ulama Kauman sebagaimana Paku Buwono yang sangat memprioritaskan pendidikan agama kepada anak cucunya hingga menghadirkan guru agama untuk mengajarkan agama bagi para penerusnya.
Semakin menyusutnya kegiatan keagamaan di Kauman membuat mayoritas masyarakat tidak sanggup menghadapi tantangan perubahan zaman, terlebih lagi mereka tidak memiliki pekerjaan sampingan untuk mencukupi sandang pangan. Sebab menjadi abdi dalem Istana merupakan pekerjaan tetap dan satu-satunya bagi mereka. Proses Islamisasinya juga kurang signifikan akibat kurangnya peran ulama.
Kondisi ekonomi antara Kauman Mangkunegaran dan Kauman Kasunanan sangat berbanding terbalik. Jika di Kasunanan, para abdi dalem memiliki inisiatif kegiatan yang bisa dijadikan sampingan yakni pengrajin batik. Meskipun telah berprofesi sebagai pengusaha batik yang sukses meraup banyak keuntungan, mereka tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam. Di wilayah Kasunanan nilai keagamaan Islam merupakan oksigen bagi masyarakat setempat. Meski kampung Kauman Mangkunegaran hingga detik ini masih ada, namun hanya tinggal plang nama yang berdiri di sebelah utara dan selatan belakang Pura Mangkunegaran.
Paparan di atas kurang lebihnya merupakan kilas balik hilangnya detak jantung kehidupan Kauman Mangkunegaran dan juga terlepasnya julukan museum hidup Islam Jawa, layaknya Kasunanan dan Kasultanan. Kini aktivitas yang masih terlihat di sekitar Kauman adalah berdirinya sekolah-sekolah Islam di sekitar Mangkunegaran. []