Oleh: Ahmad Miftahudin Thohari
Nama lengkap Imam Al-Syaukani ialah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah al-Syaukani al-Syan’ani. Lahir pada haru Senin, 28 Dzulqa’dah 1173 H/1759 M, di kota Shan’a, Yaman. Wafat pada Rabu 2 Jumadil Akhir 1250 H/1834 M, sedang pendapat lain mengatakan Imam Al-Syaukani wafat pada 1255 H, di Khuzaimah, Shan’a, Yaman.
Tokoh ini dikenal sebagai Al-Syaukani, karena beliau berasal dari desa yang bernama Syaukan (yang juga disebut dengan Hijrah Syaukan dan ‘Adna Syaukan). Desa ini dihuni oleh suku Sahamiyyah yang termasuk rumpun dari kabilah Khaulan. Sedangkan, nenek moyang Imam Al-Syaukani adalah keturunan dari suku Rabi’ah yang masih mempunyai hubungan darah dengan suku Qathan, keturunan asli Isma’il bin Ibrahim.
Ayahnya yang bernama ‘Ali Syaukani (w. 1211 H) merupakan ulama’ terkenal di Yaman, yang sudah berkali-kali dipercaya oleh Dinasti Qasimiyyah untuk menjabat sebagai hakim (qadli). Pada dasarnya, Imam Al-Syaukani merupakan anak seorang ulama’ besar yang juga seorang hakim (qadli). Sehingga, wajar apabila beliau memiliki kecintaan besar terhadap ilmu pengetahuan. Bahkan, sebelum beliau belajar secara disiplin-formal kepada para ulama’ besar, beliau dikenal sebagai anak yang memiliki minat baca tinggi. Ayahnya yang seorang juga ulama’ besar, yang memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi kitab-kitab yang banyak dan nyaris lengkap.
Imam Al-Syaukani amat rajin membaca kitab-kitab sejarah dan sastra, di samping beliau juga membaca sekaligus menghafal sejumlah ringkasan (mukhtashar) dari berbagai jenis disiplin ilmu, mulai dari fiqh, ushul fiqh, sastra Arab, ilmu manthiq, dan seterusnya. Jadi, sebelum beliau benar-benar berlajar secara formal dengan bimbingan ulama’-ulama’ besar, Imam Al-Syaukani telah membekali dirinya dengan banyak belajar secara otodidak, yakni dengan membaca banyak kitab di perpustakaan milik sang ayah.
Dari sang ayah, beliau mempelajari disiplin ilmu fiqh, ushul fiqh, dan hadist. Selanjutnya beliau mengembarakan dirinya untuk berguru kepada sejumlah ulama’-ulama’ yang ada pada saat itu. Diantaranya, adalah ‘Abdullah bin Isma’il al-Nahmi (w. 1228 H); Al-Qasim bin Yahya al-Khaulani (w. 1209 H); Al-Hasan bin Isma’il al-Maghribi (w. 1207); ‘Ali bin Hadi ‘Urhab yang mengajarkan ushul fiqh; ‘Abd al-Qadir bin Ahmad al-Kaubani (w. 1207 H). Itulah beberapa nama ulama’ yang sering disebut-disebut oleh Imam Al-Syaukani dari sekian banyaknya guru-guru beliau.
Imam al-Syaukani telah mempelajari banyak berbagai macam disiplin ilmu. Bahkan, konon dalam sehari beliau kurang lebih mampu mempelajari 13 macam disiplin ilmu yang berbeda secara tuntas. Selain itu, setiap kali beliau selesai belajar macam-macam ilmu, Imam Al-Syaukani langsung mengajarkannya kepada para muridnya. Sampai disebutkan, bahwa Imam Al-Syaukani mampu mengajarkan kurang lebih 10 macam disiplin ilmu yang berbeda dalam sehari.
Tak heran. Dari jejak karir intelektual beliau yang memang telah cemerlang sejak masih berusia muda, membuat keluasan dan kedalaman wawasan sangat unggul berkat ketekunannya dalam belajar, baik secara otodidak maupun dengan berguru secara langsung.
Imam Al-Syakauni dan Syi’ah Zaidiyyah
Yang perlu diketahui dari sosok Imam Al-Syaukani adalah bahwa beliau merupakan keturunan Syi’ah, yakni Syi’ah Zaidiyyah, golongan Syi’ah yang paling moderat dan paling dekat dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni).
Syi’ah sendiri merupakan kelompok umat Islam yang menjadi pendukung setia Ali bin Abi Thalib. Tetapi, dalam tubuh Syi’ah sendiri mereka terpecah lagi menjadi beberapa kelompok, seperti Syi’ah Imamiyyah, Syi’ah Isma’iliyyah, dan Syi’ah Zaidiyyah.
Khusus, Syi’ah Zaidiyyah adalah golongan Syi’ah yang merupakan pengikut dari Zaid bin Ali Zain al-Abidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib (w 122 H). Yang mana Alib Zain al-Abidin sendiri merupakan urutan imam ke-4 dalam pemahaman Syi’ah Imamiyyah. Zaid inilah yang kemudian diakui oleh kelompok Zaidiyyah sebagai penerus Ali Zain al-Abidin, bukan Muhammad Baqir sebagaimana yang dipahami oleh kelompok Imamiyyah.
Nasab keilmuan Syi’ah Zaidiyyah, dalam bidang kalam (teologi), mengikuti pendapat Mu’tazilah, lantaran Zaid bin Ali Zain al-Abidin merupakan murid dari Washil bin Atha’ (w. 131 H). Adapun dalam bidang fiqh, mahzab Zaidiyyah lebih condong kepada paham Sunni ketimbang kepada paham Syi’ah pada umumnya. Bahkan dalam bidang muamalah khususnya, Zaidiyyah cenderung lebih dekat dengan pendapat mahzab Hanafi. Seperti menurut Prof. Aqiel Siradj dalam “Kiai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said”, disebutkan, bahwa Abu Hanifah secara politis banyak mendukung Syi’ah Zaidiyyah, beliau juga berbaiat kepadanya dan menjadi salah satu donaturnya.
Imam Al-Syaukani merupakan anak dari tokoh Syi’ah Zaidiyyah dan banyak dididik dalam lingkungan mahzab tersebut, namun demikian tidak sedikit pendapat-pendapat beliau yang bertentangan dengan pendapat mahzab Zaidiyyah. Sebab, dalam persentuhan karir keilmuannya, Imam Al-Syaukani banyak mempelajari kitab-kitab dari tokoh Sunni, misalnya Syarh Jam’ al-Jawami’ karya Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H), Bulugh al-Maram karya Ibn Hajar al-‘Asqalani dan juga Fath Bari’ yang merupakan syarh utama mahzab Sunni tentang Shahih al-Bukhari.
Oleh karena banyaknya kitab-kitab Sunni yang dipelajarinya secara luas dan dalamnya wawasan yang beliau miliki, membuat Imam Al-Syaukani sering berbeda pendapat dengan orang-orang dari kalangan Syi’ah Zaidiyyah sendiri. Terutama dalam urusan ayat-ayat mutasyabihat, beliau lebih condong dengan kelompok Salaf, bukan Syi’ah Zaidiyyah maupun Mu’tazilah.
Pun, dalam persoalan Al-Qur’an, apakah qadim (kekal)atau hadis (baru), pendapat Imam Al-Syaukani lebih dekat dengan pendapat Abu al-Hasan Al-Asy’ari, yang lebih berpandangan bahwa Al-Qur’an itu qadim. Imam Al-Syaukani mengatakan, akan muncul dua hal, apabila masalah demikian (persoalan Al-Qur’an) terus-menerus diperdebatkan. Yakni, (1) persoalan ini merupakan hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi maupun ulama’ Salaf, maka membicarakannya termasuk sesuatu yang bid’ah; (2) membicarakan hal tersebut, hanya akan memunculkan perpecahan di kalangan umat Islam, karena akan saling mengkafirkan satu sama lain. Oleh karena itu, menurut beliau pilihan terbaik adalan memilih berdiam diri (tawaqquf).
Demikianlah, sekilas tentang sosok besar—pengarang kitab Nail al-Authar yang biasa dijadikan rujukan dalam Batsul Masa’il—yang dilahirkan dan dididik dalam lingkungan bermahzab Syi’ah, khususnya tipe Syi’ah Zaidiyyah, tetapi dalam struktur keilmuannya lebih condong ke arah Sunni (Ahlussunnah Wal Jama’ah). []