Nyadran: Eksistensi Nilai-Nilai Kebudayaan Jawa

Oleh: Lilik Nur H M

Sumber Gambar: http://makalahirfan.blogspot.com/2018/10/nyadran-sebagai-budaya-islam-jawa-studi.html?m=1

Kebudayaan di Indonesia memang beraneka ragam dari sabang sampai merauke, kebudayaan ini merupakan ciri khas yang tidak semua negara memiliki. Kebudayaan Indonesia sangatlah nyentrik (unik dan aneh), meskipun begitu tetaplah menjadi warisan peradaban. Kebudayaan sebagai tradisi, kepercayaan, perilaku dan benda-benda yang dipergunakan masyarakat, cara hidup manusia seperti kepercayaan, pengalaman (pengetahuan) umum yang diturunkan atau pengalaman religius, kondisi dan situasi lokal.

Budaya lokal merupakan nilai-nilai lokal hasil budidaya atau kebiasaan masyarakat suatu daerah yang terbentuk secara alami dan diperoleh melalui proses kebiasaan yang dilakukan dari waktu ke waktu secara berkala lama. Terutama untuk kebudayaan Jawa sampai saat ini masih berkembang dan dilestarikan sebagian masyarakat. Kebudayaan Jawa mulanya dibawa oleh orang-orang Hindu dan Budha, namun semenjak kedatangan para Wali Allah (wali sanga), kurang lebih pada abad  ke 12 M, sebagian para wali Allah mengubah tradisi yang ada di masyarakat Jawa dan ada sebagian memadukannya di antara keduanya.

Islam yang hidup di tanah Jawa bisa disebut juga dengan Islam Jawa, karena memang Islam yang berkembang di tanah Jawa sangat pesat. Orang-orang jawa dikenal sangat ramah terhadap para pendatang tanpa melihat status mereka siapa dan menganggap mereka semua sebagai bagian mereka. Agama Islam adalah Agama Rahmatan Lil ‘Alamin yang menyayangi dan mencintai semua insan meskipun berbeda keyakinan, tetap melindungi segenap jiwa raga. Maka Islam dapat diterima dengan mudah dikalangan masyarakat.

Islam dengan kebudayaan sangatlah melekat tak dapat dipisahkan, ibarat perangko dengan surat. Tetapi, antara Islam dengan Kebudayaan tak dapat dicampur-adukkan menjadi satu, namun juga tak bisa apabila salah satunya harus ditambahkan atau dihilangkan. Selama tradisi tidak bertentangan dengan Islam, maka dapat mewujudkan diri menjadi konteks sosial.

Memang kebudayaan Jawa atau adat istiadat dengan Islam tidak bisa dipisahkan, keduanya memiliki makna tersendiri. Kebudayaan Jawa yang sampai saat ini masih ada terdapat di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Salah satunya yang tidak asing di telinga kita adalah nyadran. Tradisi tersebut di berbagai daerah pasti ada, tetapi mungkin berbeda caranya seperti kata pepatah “bedho deso mowo coro”. Ada juga yang menyebutnya dengan nama sadranan. Tradisi nyadran adalah sebuah tradisi yang unik dilakukan oleh masyarakat Jawa secara turun temurun menjelang bulan Ramadhan, lebih tepatnya tanggal 10 bulan Rajab. Tujuan acara nyadran adalah untuk menghormati para leluhur dan mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Acara nyadran terdiri dari serangkaian kegiatan, yaitu upacara pembersihan makam, tabur bunga, dan acara selamatan atau bancakan.

Tradisi ini juga ada di desa saya sendiri, yaitu desa Ngepringan, lebih tepatnya di Dusun Pungkruk, RT 20. Sebelum Islam masuk ke desa saya para warga setempat melaksanakannya tradisi nyadran tersebut ke sarean (kuburan), sebuah pohon yang besar biasanya warga menyebutnya (brumbung). Awalnya kegiatan ini dimulai dengan pembacaan do’a-do’a yang dipimpin sesepuh desa, habis do’a kemudian para warga bertukar makanan dengan teman di samping kanan kiri, depan belakang. Dengan maksud agar warga lain bisa merasakan makanan yang dibuat orang lain juga.

Tradisi ini biasanya diikuti oleh warga dusun Rt 20, Rt 05, dan Rt 04. Acara ini ikuti para warga mulai dari anak-anak, remaja, orang tua, kakek nenek. Tetapi kebanyakan yang mengikuti para anak-anak. Kata nenek ketika saya mendengar bahwa mengapa warga melakukan tradisi tersebut karena dianggap yang memberikan sumber kehidupan di desa tersebut. Namun dengan perkembangan zaman sekarang masyarakat jarang melakukan tradisi tersebut, bahkan hanya sebagai warga yang masih percaya lalu melaksanakan tradisi tersebut.

Sedangkan corak Islam yang sudah ada di desa saya banyak warga yang tidak melakukan tradisi nyadran, mereka yang melakukan hanya beberapa warga saja.  Bagi warga yang biasanya melakukan, tiga hari sebelum tanggal 10 Rajab ketua RT berkeliling memberi tahu warga. Saat malam tanggal 10 Rajab para warga berduyun-duyun datang ke rumah pak RT selaku pemimpin do’a, para warga membawa makanan yang berisi: nasi, ayam panggang, serundeng, kerupuk merah, tahu tempe, dan lain sebagainya. Setelah acara do’a para warga di suruh membuka makanan tadi yang di tutup oleh daun pisang, kemudian para warga dipersilahkan makan, jika tidak habis maka harus di bawa pulang. Alasan mengapa tradisi tersebut harus dilestarikan ialah untuk menjunjung nilai-nilai kebudayaan yang terkandung dalam tradisi tersebut, dan juga untuk menjalin keaslian dan kedamaian antar warga dan keluarga inilah yang menjadikan adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang mereka.

Tradisi nyadran ini sebagai kegiatan penting bagi masyarakat untuk saling lebih dekat dengan para tetangga sekitar, agar terjalin silaturahmi yang erat. Sehingga para masyarakat lebih rukun, harmonis, dan saling menyayangi. Dengan adanya tradisi nyadran ada beberapa manfaat yang penting untuk kelangsungan kehidupan yaitu, kita bisa mensyukuri nikmat Allah swt., banyak dan sedikit, kita juga bisa menyedekahkan makanan kepada para warga yang membutuhkan. Jadi, menurut tradisi tersebut sangat penting untuk dilestarikan masyarakat khususnya di Jawa, meskipun budaya ini bukan berasal dari agama Islam sendiri. Tradisi ini bisa juga menjadi ajang untuk menyiapkan diri sebelum bulan puasa tiba dan mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa dan menjadi ajang untuk bersedekah antar sesama umat muslim dalam menjaga persaudaraan.

Agama dan kebudayaan memberikan wawasan dan cara pandang bagaimana kita menyikapi dan berbuat baik dengan makhluk ciptaan Tuhan, tanpa memandang status sosial. Agama sebagai pusat peribadatan sedangkan kebudayaan sebagai pusat dinamis bagi kehidupan. Maka dari itu, kita sebagaimana harus bisa menjaga dan melestarikan kebudayaan lokal masing-masing di daerah. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *