Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam
Oleh: Setiyani Eky
Penulis : Sachiko Murata
Tahun Terbit : Cetakan II, 1996
Penerbit : Penerbit Mizan
Kota Terbit : Bandung
Jumlah Halaman: 462 halaman
Nomor ISBN : 979-433-095-7
Sebuah buku yang berjudul The Tao Of Islam ini merupakan buku karya dari Sachiko Murata seorang profesor studi agama pada Department of Comparative Studies di State University of New York at Stony Brook, Amerika Serikat. Buku ini terdiri dari empat bagian yaitu, bagian I Tiga Realitas; bagian II Teologi; bagian III Kosmologi; dan bagian IV Psikologi Ruhani. Buku ini terdiri dari 10 bab.
The Tao Of Islam adalah sebuah antologi yang lengkap dan kaya dalam bidang pemikiran Islam tentang hakekat hubungan antar Tuhan serta menjelaskan relasi gender dengan memakai perspektif kosmologi Islam dalam batasan-batasan Taoisme. Relasi gender direpresentasikan dengan polaritas antara Yin dan Yang.
Yin digambarkan sebagai sifat feminim (jamal, bumi) dan Yang digambarkan sebagai sifat maskulin (jalal, langit). Kualitas yin (feminis) dan kualitas yang (maskulin) digabungkan akan membentuk suatu kesatuan yang sempurna atau al-kamal. Kemudian polaritas-polaritas ini nantinya akan membentuk hubungan yang saling berkorespndensi antara Tuhan (Teologi), Alam (Makrokosmos), dan Manusia (Mikrokosmos).
Dalam bagian Teologi (Tuhan), polaritas Yin dan Yang digambarkan melalui nama-nama-Nya (Asmaul Husna) yang sudah tertera dalam nash menjadi dua bagian sifat, yaitu kualitas maskulin dan feminis. Keseimbangan antara kualitas maskulin seperti Allah yang Maha Agung, Kuasa, dan kualitas feminis sebagai yang Maha Pengasih, Penyayang, dan Penerima.
Dari korespondensi dualitas kualitas ini, muncul pluralitas, diferensiasi, keterpisahan yang semuanya dijelaskan secara panjang lebar dalam proses penciptaan jagat raya (alam) sebagai makrokosmos, dan manusia sebagai mikrokosmos.
Dalam bagian Kosmologi, dimulai dari sepenggal QS. Adh-Dhariyat ayat 49 yang artinya “dan segala-galanya Kami ciptakan serba berpasang-pasangan…”. Ayat tersebut menjelaskan adanya zawjan (pasangan) pria dan wanita di antara makhluk-makhluk hidup dan jenis yang berbeda diantara benda mati misalnya langit dan bumi, siang dan malam, dan sebagainya, dari konsep dualitas sebagaimana adanya. Dalam mengemukakan makna yang lebih mendalam dari ayat tersebut, Rasyid Al-Din Maybudi melihat tanda-tanda ganda dalam seluruh benda sebagai indikasi kemustahilan Tuhan untuk diperbandingkan. Tuhan menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan untuk membedakan keesaan-Nya sendiri dengan kejamakan makhluk-makhluk-Nya.
Ciptaan itu mustahil tanpa dualitas, sebab hanya Tuhan saja yang Tunggal. Kemudian, Maybudi melambangkan pendekatan kearifan pada pemikiran kosmologi dengan menekankan kaitan erat antara dua dimensi dasar Tao of Islam, yaitu fenomena perilaku alam dan ketentuan-ketentuan moral dan spiritual dalam kehidupan manusia. Karena kosmos tergantung sepenuhnya pada Tuhan untuk eksistensi dan realitasnya. Dan penciptaan kosmos sendiri berawal dari adanya interaksi antara pasangan Yin dan Yang kemudian memunculkan suatu kehidupan. Dalam Al-Qur’an, keseluruhan kosmos digambarkan sebagai langit dan bumi. Sejumlah ayat menyarankan bahwa segala sesuatu di alam raya (kosmos) dicakup oleh kedua relasi ini yaitu, langit dan bumi. Langit diumpamakan sebagai Yang (maskulin) dan bumi diumpamakan sebagai Yin (feminis).
Langit adalah sesuatu yang tinggi dan memberikan limpahan pada satu tingkat di bawahnya sedangkan bumi adalah sesuatu yang relatif rendah dan menerima limpahan dari satu tingkat diatasnya. Penjelasan mudahnya begini, langit berada di atas, ia menjatuhkan airnya kepada bumi yang ada di bawah. Kemudian bumi mengeluarkan benda-benda yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, langit memberikan pengaruh, sedangkan bumi menerima pengaruhnya. Proses jatuhnya air dari langit ke dalam bumi adalah sebuah proses perkawinan di mana ada yang memberikan pengaruh dan menerima pengaruh, kemudian menghasilkan suatu pengaruh lain pula.
Meskipun langit yang memberikan pengaruh atau pelimpah dan bumi adalah penerima, tetapi tingkat bumi di atas daripada langit. Jadi, Hawa adalah di atas Adam. Namun, tidak pernah ada waktu ketika tidak ada langit dan tidak ada bumi, sebab selalu ada langit dan bumi, karena keduanya saling melengkapi.
Dalam pembahasan di bagian terakhir yaitu, Psikologi Ruhani, menekankan kesempurnaan penciptaan manusia dengan prinsip ta’wil, pembahasan hati, dinamika jiwa, dan representasi manusia sebagai mikrokosmos yang berhubungan dengan makrokosmos (alam) mewujudkan metakosmos, membuat ketiga realitas tersebut menjadi satu (tauhid).
Prinsip-prinsip ta’wil atau hermenetisme esoterik. Ta’wil berasal dari akar yang sama dengan kata awwal, “pertama” yang merupakan salah satu nama Tuhan. Kata ta’wil berarti kembali, menyebabkan kembali, mereduksi, menemukan sesuatu yang dapat direduksi. Karena Tuhan adalah yang pertama dalam hubungannya dengan segala sesuatu. Banyak ahli memahami istilah itu bermakna membawa sesuatu kembali kepada yang pertama, menunjukkan hubungan sesuatu dengan yang pertama, mengikat sesuatu kembali pada Tuhan.
Ta’wil sering dikatakan mengacu pada pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memperhatikan implikasi-implikasi yang tersembunyi di bawah atau di balik makna harfiahnya dengan menambahkan dimensi perenungan pribadi.
Bagi kebanyakan Sufi, ta’wil didasarkan atas pengetahuan akan makna esoterik Al-Qur’an yang diberikan oleh Tuhan sendiri. Pengetahuan ini tidak dapat ditangkap melalui pengajaran biasa. Ia dapat diperoleh hanya dengan cara menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan sebagai yang terwujud dalam Al-Qur’an. Begitu seseorang condong hatinya pada Al-Qur’an, maka Al-Qur’an pun menyerahkan dirinya. Pencari itu harus menjadi Yin bagi Yang-nya Al-Qur’an.
Ketika Rumi membandingkan Al-Qur’an dengan seorang mempelai wanita, orang menyangka dia menganggap wanita itu menyerahkan dirinya kepada suaminya. Maksudkannya adalah bahwa suami itu harus menyerah pada kehendak istrinya. Hanya dengan menyerahkan diri pada orang lain saja, maka kita dapat meraih nilai bagi penyerahan diri orang lain itu.
Kemudian dalam pembahasan hati, Allah telah berfirman dalam QS. Al-A’raf ayat 179 yang artinya “mereka mempunyai hati, tetapi tidak mempergunakannya untuk memahami. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak mempergunakannya untuk melihat. Mereka mempunyai telinga, tetapi tidak mempergunakannya untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi”. Maksud dari ayat tersebut, mereka itu tuli terhadap realitas-realitas, bodoh terhadap hal-hal yang rumit, buta terhadap objek-objek supraindrawi, objek-objek yang dapat dipahami dengan mata hati.
Tuhan tidak bermaksud menyalahkan mereka karena tidak mendengar suara, tidak melihat warna-warna, dan tidak mengetahui permasalahan kehidupan. Tidak, Dia menyalahkan mereka hanya karena mereka tidak memahami urusan kembali pada Tuhan (ma’ad).
Manusia memiliki kualitas langit juga kualitas bumi sehingga manusia adalah makhluk yang sempurna. Manusia adalah representasi dari Yin (jamal) dan Yang (jalal) yang menunjukkan kesempurnaan proses penciptaan. Manusia diciptakan oleh Allah dengan kedua tangan-Nya, dan manusia juga memiliki akal. Manusia memiliki jiwa maskulin yang aktif, yang dapat merusak jiwanya untuk berusaha menguasai suatu hal dan berbuat kejahatan. Dan manusia juga memiliki jiwa feminis yang damai dan sepenuhnya tunduk kepada Tuhannya.
Oleh karena itu, kita sebagai manusia harus menyeimbangkan serta menyelaraskan antara maskulin dan feminis agar kita menjadi manusia yang aktif, kuat namun dengan tetap selalu tunduk pada Tuhan serta senantiasa menahan dan menjaga nafsu kita dari perbuatan munkar.
Maka ketahuilah, bahwa kunci kepada pengetahuan tentang tuhan adalah pengetahuan tentang diri sendiri. Orang yang mengenal dirinya sendiri, maka ia akan mengenal Tuhannya.
Pada akhirnya, Buku ini berupaya untuk menunjukkan adanya kesetaran gender bahwa derajat wanita itu sama dengan laki-laki. Dan dari buku ini, kita dapat memahami hubungan antara 3 realitas berikut seperti, Tuhan (Teologi), Alam (Makrokosmos), dan Manusia (Mikrokosmos). Tiga realitas tersebut menunjukkan hubungan kesatuan. Jika ingin melihat keberadaan Tuhan maka dapat dilihat dari tanda-tandanya dan ini bisa dilihat dari makrokosmos dan dikuatkan dengan ayat Al-Qur’an tentang hal tersebut.
Pembahasan mengenai psikologi ruhani juga mengajarkan kita bahwa kita sebagai manusia diciptakan secara sempurna karena memiliki akal dan jiwa yang disertai dengan hati. Karena manusia sejati itu bergantung pada akal dan hatinya bukan dengan nafsunya.
“Selalu periksa keadaan batinmu menggunakan sang Raja dari hatimu. Tembaga tidak pernah mengetahui dirinya tembaga, sebelum ia berubah menjadi emas. Cinta kasihmu tidak akan mengenal Rajanya, sebelum ia menyadari ketidakberdayaannya. Akhirnya, kebenaran sejati hanya ada pada Allah SWT.” Jalaluddin Rumi.